Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Motivasi : Adi Sang Pejuang Mimpi (Cerpen)

Deg-degan rasanya ketika saya nulis cerpen pertamaku ini. Takut bahasanya susah dimengerti, alurnya ga jelas, enggak menarik, dan sebagainya. Aku juga bukan orang yang arif nulis dan nggak terlalu paham juga perihal tekhnik penulisan.

Tapi niat untuk nulis sudah terpikirkan semenjak lama. Tujuan utamaku yaitu ingin memotivasi setiap orang yang membaca.

Kisah ini tiba dari tokoh Adi, seorang yang gigih memperjuangkan mimpinya.

Dan pribadi saja, inilah cerpen pertamaku, semoga kalian menikmatinya...

degan rasanya ketika saya nulis cerpen pertamaku ini Motivasi : Adi Sang Pejuang Mimpi (Cerpen)
Sumber : Freepik

Adi Sang Pejuang Mimpi

Sebut saja namaku Adi. Aku lahir di bulan Oktober beberapa tahun lalu. Aku seorang anak tunggal. Kata ibu saya paling ganteng. Tetapi menurutku saya biasa saja. Biasalah, ibu manapun juga akan memuji anak-anaknya. Aku lahir di sebuah keluarga sederhana. Bisa dibilang sangat sederhana. 

Ibuku seorang tukang loundry tradisional. Makara basuh baju masih pakai tangan biasa. Waktu kecilku bukan untuk bermain, melainkan membantu ibu menuntaskan cuciannya yang menumpuk. Walaupun dalam hati paling dalam, saya pengin sekali bermain bersama sobat sebayaku. Tapi, mau gimana lagi, sudah menjadi kewajibanku membantu orang tua. 

Oiya, jadi tukang loundry itu sangatlah melelahkan. Apalagi kalau yang dicuci celana jeans. Tangan terasa pegal sehabis mencucinya. Tapi apapun itu akan kulakukan demi membantu ibu. Upah untuk mencuci tiap kilogramnya hanya 3000 rupiah. Memang uang segitu bagi sebagian orang tergolong kecil, tapi begitu besar untukku dan ibu. Dalam sehari, rata-rata cucian yang bisa kami kerjakan tidak lebih dari 10 kilogram saja. Makara penghasilan setiap pembersihan kurang lebih hanya Rp. 30.000. Uang yang sangat kecil di kota sebesar Jakarta. 
Pekerjaan loundry sangatlah tergantung pada cuaca. Kalau cuaca sering hujan, maka cucian usang untuk kering. Pendapatan juga menjadi tak menentu. Bahkan pernah kami tidak mendapatkan penghasilan dalam 2 hari. Tapi bagi kami tidak menjadi problem selagi masih ada beras, garam, dan air panas. Ketiganya akan menjadi hidangan masakan yang Istimewa jikalau dinikmati dalam keadaan terpaksa. 

Selain membantu ibu, bersyukur saya bisa sekolah SD, saya juga menjalani kehidupanku sebagai pelajar. Jarak rumahku dengan sekolah kurang lebih 7 kilometer. Jarak tersebut bisa saya tempuh dalam waktu 1 jam jalan kaki. Bisa juga dalam waktu 30 menit kalau di jalan ketemu temanku dan saya memboncengnya. Aku enggak punya sepeda untuk pergi ke sekolah. Gapapa lah, yang penting punya seragam. walaupun kucel, dan alat tulis bagiku sudah lebih dari cukup. Tiap harinya, saya berangkat jam 5.30 pagi. Terkadang saya berangkat dengan penuh rasa kantuk. Ya wajarlah, tiap hari saya bantu ibu hingga jam 21.00 untuk mencuci baju. Setelah melaksanakan kewajibanku sebagai pelajar, belajar, hingga jam 23.00. Setiap hari saya bangkit 4.30 pagi, jadi kalau dihitung-hitung waktu tidurku cuma lima setengah jam. 

Meskipun dengan keadaan demikian, saya mempunyai prestasi yang bagus di sekolah. Aku selalu menempati peringkat 4 besar di kelas. Saat selesai pendidikanku di SD, saya menjadi lulusan dengan hasil nilai ujian tertinggi, yaitu 28,40. Aku sangat bersyukur dan bahagia akan raihan tersebut. 

Sempat terpikir di pikiranku untuk melanjutkan ke SMP. Tapi saya menyadari kalau kondisi keuangan begitu susah. Aku pun takut untuk bilang ke ibu kalau saya pengin sekolah SMP. Jadi, setiap hari saya hanya berdoa supaya ada rezeki yang Tuhan berikan supaya saya bisa melanjutkan pendidikanku. 

Tuhan memang baik. Tuhan memang penyayang. Tuhan memang sangat mengasihi umatNya. Doa yang selalu saya panjatkan tiap hari dijawabNya. Waktu itu Guru SD-ku, namanya Ibu Nadya, tiba ke rumahku. Aku sempat galau dan bertanya-tanya kenapa Ibu Nadya mau tiba ke rumah jelekku ini. Ternyata Ibu Nadya mau mengatakan saya untuk melanjutkan sekolah dengan biaya yang ditanggungnya. Hatiku begitu bahagia dan gembira. Tanpa berpikir panjang, saya mendapatkan anjuran dari Ibu Nadya dan berterimakasih kepadanya. 
Singkatnya, saya sudah mulai bersekolah di SMP. Dan saya masih tetap dengan kegiatan rutinku, membantu ibu tiap hari hingga jam 21.00 untuk mencuci baju. 

Waktu di SMP, saya menerima banyak teman. Teman-temanku di Sekolah Menengah Pertama kebanyakan yaitu orang-orang kaya. Aku sering dibully oleh mereka. 

"Ah dasar tukang loundry kiloan."

"Di, Adi, tolong cuciin daster emak gue dong, entar gue bayar 10 kali lipat deh. Tapi besok kalo udah jadi, lu pake buat berangkat sekolah ya HAHAHA."

"Katanya tukang loundry, kok bajunya wangi gini sih kayak aer comberan."

Sempat saya merasa minder dan menjadi tidak percaya diri sebab cemoohan dari teman-temanku. Aku menjadi seorang yang sangat pendiam, dan jarang bergaul dengan sobat lainnya. Aku lebih suka menghabiskan jam istirahatku di kelas, sebab minder jikalau ketemu sobat lainnya dan juga tidak punya cukup uang untuk beli jajan. 

Sampai pada jadinya saya hingga pada titik balik. Titik dimana saya ingin melaksanakan pembalasan kepada mereka. Namun, pembalasanku bukanlah pembalasan fisik, melainkan pembalasan dengan prestasi. Sampai akhirnya, saya mengambarkan pada mereka. Aku menjadi peraih nilai Ujian Nasional tertinggi di Jakarta, dengan total nilai 39,30. 

Atas hasil itu, saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di SMA. Kesempatanku menjadi semakin terbuka lebar untuk meraih mimpiku. 

Singkat cerita, saya masuk ke SMA. Dan kegiatan rutinku juga masih sama, membantu ibu mencuci setiap hari hingga jam 21.00. Meskipun kesibukan di Sekolah Menengan Atas semakin kompleks dengan tugas-tugasnya, saya tetap menjalankan rutinitasku dengan semangat. Bahkan, di Sekolah Menengan Atas saya menjadi ketua OSIS. 

Di Sekolah Menengan Atas ada seorang cewek yang menyukaiku, ia namanya Dina. Mungkin ia menyukaiku sebab saya ganteng (seperti kata ibuku yang padahal enggak ganteng sama sekali) atau mungkin sebab saya seorang ketua OSIS. Entahlah, semoga itu menjadi diam-diam Dina. Oiya, Dina ini anak orang kaya, ia anak pejabat. Tiap hari ia diantar-jemput bapaknya ke sekolah dengan kendaraan beroda empat Mercedes hitam. Sedangkan saya hanya pakai sepeda sumbangan Ibu Nadya untuk berangkat ke sekolah. 

Sebenarnya saya juga suka sama Dina. Aku suka bukan sebab ia anak pejabat, tapi sebab ia cantik, anggun, dan baik. Tapi saya merasa enggak cocok aja pacaran sama Dina. Bagaikan bumi dan langit. Akhirnya ya kita cuma bisa sama-sama suka, tanpa mengungkapkan rasa. 

Karena hal tersebut, saya lebih menentukan fokus untuk berorganisasi dan berguru dibanding memikirkan cinta fiktifku dengan Dina. Hanya mimpi yang bisa menyandingkanku dengan Dina. 

Dan di masa Sekolah Menengan Atas lah saya benar-benar ingin mengejar mimpiku. Dulu saya berguru dari jam 9 malam hingga jam 11 malam. Tetapi sekarang, jam belajarku bertambah 1 jam, jadi hingga jam 12 malam. Memang ini melelahkan, tapi saya yakin dengan perjuangan keras maka hasilnya juga akan maksimal.

Ya, benar saja. Aku kembali menjadi lulusan terbaik di sekolah. Makara dari SD, SMP, Sekolah Menengan Atas saya selalu menjadi pemegang hasil Ujian Nasional tertinggi. Aku sungguh bersyukur sebab Tuhan selalu punya rencana indah jikalau saya mau ulet berusaha.

Setelah lulus, saya segera mencari perguruan tinggi tinggi tujuanku. Kriteria utama bagiku bukanlah yang fasilitasnya mewah, bangunannya keren, tetapi yang menjadi kriteria utama bagiku yaitu GRATIS. Ya, sebab saya sadar saya orang kurang mampu. Setelah mencari isu sana-sini, jadinya pilihanku jatuh pada Perguruan Tinggi Kedinasan. Karena saya berfikir, dengan saya masuk Perguruan Tinggi Kedinasan, selain sekolah gratis, saya juga bisa pribadi kerja dan berharap bisa sukses dan meraih impianku.
Baca Juga: 6 Cara Jitu Masuk PKN STAN (Based on True Story)
Setelah tiga bulan saya melaksanakan persiapan, hari Ujian Saringan Masuk pun tiba. Ujian ini terbagi menjadi dua tahap, Tes Potensi Akademik dan Wawancara. Tes Potensi Akademik saya lewati dengan begitu optimis dan lancar. Aku sangat yakin dengan hasil kerjaanku. Selang beberapa jam kemudian sehabis Tes Potensi Akademik, saya dipanggil untuk masuk ke ruang wawancara. Aku masuk dengan hati takut, saya takut jikalau jawabanku akan membuatku tidak lolos masuk Perguruan Tinggi Kediasanan di bawah naungan Kementerian Keuangan ini.

"Ngiett..." Aku membuka pintu ruang wawancara.

"Silakan duduk, Dik." Kata Ibu pewawancara dengan lembut.

"Selamat siang, Bu. Perkenalkan nama saya Adi dari Jakarta." Inisiatifku memperkenalkan diri.

"Baik dek Adi. Di sesi wawancara kali ini, saya akan mengatakan dua pertanyaan untuk dek Adi. Silakan dijawab dengan jujur ya dek Adi." Kata pewawancara padaku.

"Baik, Bu. Akan Adi jawab sesuai dengan kejujuran Adi." Jawabku dengan ragu.

"Silakan dek Adi ceritakan kehidupan apa saja yang telah dek Adi lewati dari kecil hingga sekarang!" Ibu pewawancara, padaku.

"Baik, Bu. Aku seorang anak yang tumbuh besar dengan penuh kesederhanaan. Aku tinggal di sebuah rumah kecil di tepian Jakarta. Aku dibesarkan oleh ibuku. Sejak umur tiga tahun ibu dan ayahku bercerai. Sejak ketika itulah juga, ibuku menjadi tukang loundry tradisional. Masa kecil hingga kini saya dedikasikan untuk ibuku. Setiap hari saya membantu ibu mencuci pakaiannya hingga jam 9 malam. Kenapa bisa hingga jam 9 malam ? Karena saya minta pada ibuku, jikalau ibu mau mencuci baju, maka tunggulah saya pulang dari sekolah. Makara saya dan ibuku mulai mengerjakan basuh pakaian dari jam 3 sore, itulah penyebabnya. Dengan keadaan tersebut saya tidak menjadi seorang yang putus asa. Aku ingin menjadi orang sukses. Jalan menuju sukses sudah saya gelar bertahap dengan prestas yang saya ukir. Aku selalu menjadi lulusan terbaik di setiap jenjang pendidikanku. Itu semua berkat penyertaan Tuhan dan kerja kerasku. Akhirnya saya bisa duduk di depan Ibu untuk kembali menggelar jalan menuju impianku." Jawabku disertai air mata yang tidak terkontrol menetes di pipiku.

"Ibu terharu mendengar ceritamu, Adi. Pertanyaan kedua dari Ibu, apa harapan terbesarmu dalam hidup?" Ibu pewawancaara kembali bertanya.

"Aku sering mendengar doa ibuku ketika tengah malam. Karena kebetulan kita tidur dalam kamar yang sama. Setiap kali ibu berdoa akan hal ini, ibu selalu menangis. Aku kasihan melihat ibuku terus menyerupai ini. Aku harus berusaha mewujudkan doa ibuku. Mimpi terbesarku yaitu menjadi orang sukses dan mempersatukan kembali ibu dan ayah sebab ibuku masih sangat mencintainya" Jawabku.

Demikianlah cerpen pertamaku. Ya walaupun jalan ceritanya masih agak kurang jelas, semoga kalian bisa mengerti dan mengambil makna dari cerpen tersebut. Mohon maaf jikalau ada kesamaan tokoh, alur, dan latar, itu bukanlah hal yang disengaja.

Jangan lupa untuk LIKE DAN SUBSCRIBE yaa.... Terimakasih telah mengunjungi . Sampai jumpa di postingan selanjutnyaa...


Sumber https://rumahjendelakita.blogspot.com/