Ritual Sepik Insan Berkulit Menyerupai Buaya Papua Nugini
Jika anda yakni penggemar seri komik Batman atau pernah menonton film Suicide Squad, maka anda niscaya pernah mendengar abjad yang namanya Killer Croc. Benar, itu yakni nama dari abjad yang penampilannya terkesan menyeramkan. Bagaimana tidak, kulitnya terlihat penuh dengan sisik kolam buaya. Tidak mengherankan jikalau kemudian abjad ini mendapat nama Killer Croc (Buaya Pembunuh).
Namun percaya atau tidak, di dunia ini ternyata memang benar-benar ada insan dengan kulit ibarat buaya. Jumlahnya pun bukan hanya satu, namun ada banyak. Mereka yakni penduduk tradisional yang kini mendiami Papua Nugini, negara tetangga Indonesia di sebelah timur.
Sebanyak 80 persen warga Papua Nugini masih hidup di desa-desa. Banyak dari desa tersebut yang terletak di lokasi yang terpencil. Maka bukan hal yang mengherankan jikalau kemudian masih banyak warga setempat yang memegang teguh akhlak dan praktik tradisionalnya.
Ritual “manusia buaya” ini yakni satu dari sekian banyak ritual tradisional Papua Nugini yang masih ada hingga sekarang. Hal tersebut dilaporkan oleh Mark Stratton untuk BBC dikala melaksanakan kunjungan pribadi ke Papua Nugini. Menurut Stratton, ritual ini sanggup ditemukan di tepi Sungai Sepik, Papua Nugini sebelah utara.
Stratton menambahkan kalau ritual ini mengambil kawasan di rumah roh – atau Haus Tambaran kalau dalam bahasa setempat – yang memang banyak terdapat di sepanjang tepian sungai. Di serpihan dalam rumah ini, terdapat banyak goresan dan lukisan dinding yang menampilkan bermacam-macam makhluk hidup. Mulai dari babi hutan, ular, burung kasuari, hingga elang. Namun dari sekian banyak binatang tersebut, buayalah binatang yang paling diagungkan dan dianggap mempunyai kekuatan spiritual paling tinggi berdasarkan penduduk setempat.
Hanya kaum laki-laki yang masih belia yang menjalani ritual insan buaya. Tidak jarang anak laki-laki yang gres berusia 11 tahun turut diikutkan dalam ritual ini. Ritual ini sendiri dimaksudkan sebagai cara untuk menyiapkan kaum muda Sepik supaya siap menghadapi kerasnya hidup.
Jadi, bagaimana ritual ini dijalankan? Sesudah menjalani persiapan selama kurang lebih enam minggu, para cowok tadi kemudian dibimbing masuk ke dalam rumah roh. Tetua yang memimpin ritual ini kemudian menyayat-nyayat tubuh penerima ritual dengan menggunakan pisau silet.
“Para cowok dibawa masuk ke dalam rumah roh oleh paman mereka untuk disayat. Penyayatan ini sanggup memakan waktu satu hingga dua jam,” kata Aaron Malingi selaku kepala dewan desa Parambei, satu dari sekian banyak desa yang terletak di tepi Sungai Sepik. “Beberapa tahun yang lalu, penyayatan dilakukan dengan menggunakan bambu tajam.”
Sesudah menjalani ritual penyayatan, luka penerima ritual kemudian dilapisi dengan semacam tanah liat. Tujuannya supaya bekas luka tersebut terlihat menonjol layaknya sisik buaya ketika luka hasil ritual ini sudah sembuh.
“Sejumlah cowok ada yang hingga kehilangan kesadaran akhir tidak sanggup menahan rasa sakit,” kata Malingi. “Kaum laki-laki yang lebih bau tanah memainkan seruling suci untuk meredakan rasa sakit mereka, dan luka sayatan mereka ditutupi dengan minyak pohon dan tanah liat putih dari sungai untuk mencegah infeksi.”
Ritual ini sendiri dilakukan bukan semata-mata biar kaum laki-laki Sepik mempunyai punggung seolah-olah buaya. Rasa sakit yang diterima oleh penerima ritual menyimbolkan rasa sakit yang bakal ia hadapi dikala harus melanjutkan hidupnya di dunia. Sementara luka-luka tadi menyimbolkan bekas gigitan buaya pada tubuh manusia. Saat penerima selesai menjalani ritual, ia digambarkan terlahir kembali sebagai representasi dari sosok buaya.
Malingi menambahkan kalau ritual ini juga menyimbolkan dimulainya hidup gres penerima ritual sebagai laki-laki yang mandiri. Ia menggambarkan kalau dikala ritual berlangsung, darah milik ibu pada sang penerima akan menghilang dan digantikan oleh darah bakir balig cukup akal miliknya sendiri.
Ritual insan buaya ini bukan hanya terbatas pada penyayatan. Para penerima juga bakal menghabiskan waktu selama berbulan-bulan di dalam rumah roh untuk mempelajari bermacam-macam keterampilan dari mereka yang sudah tua. “Mereka mendapat pengetahuan dari para roh desa. Pengetahuan mengenai cara memancing, cara mengukir, dan bagaimana cara menghidupi istri dan keluarga mereka,” papar Malingi.
Saat melihat bekas sayatan yang menonjol di tubuh pria-pria Parambei, Stratton mengaku hanya sanggup membayangkan dengan ngeri tentang bagaimana rasa sakit yang harus dilalui oleh para penerima dikala menjalani ritual penyayatan. Stratton yang ingin tau pun kemudian bertanya kepada kepala desa mengenai kenapa buaya begitu diagungkan oleh penduduk setempat.
“Buaya yakni simbol kekuatan,” terperinci Malingi. “Kami takut kepada mereka, tetapi kami juga mendapat energi dari kekuatan tersebut.” Malingi kemudian bercerita kalau berdasarkan legenda yang dipercaya penduduk setempat, penduduk Sepik aslinya yakni buaya yang berdiri dari sungai dan kemudian hidup di darat sebagai manusia.
Stratton menghabiskan waktu selama empat hari di Sungai Sepik. Dengan derma perahu, ia berkelana dari desa ke desa untuk mencari tahu apakah ritual insan buaya ini masih dipraktikkan oleh penduduk desa lainnya.
Stratton karenanya menemukan jawabannya di desa Kaminimbit yang jaraknya kurang lebih satu setengah hari dengan perjalanan bahtera dari Parambei. Menurut warga setempat, ritual buaya tidak lagi dipraktikkan akhir mulai masuknya efek agama Kristen lewat misionaris yang tiba dari Jerman. Kebetulan wilayah Papua Nugini serpihan utara memang sempat menjadi koloni Jerman sebelum kemudian berpindah tangan ke Inggris sehabis Perang Dunia Pertama.
Kendati demikian, agama Kristen tidak lantas menciptakan kepercayaan lokal punah sepenuhnya dari Kaminimbit. Stratton melihat sendiri bagaimana rumah roh dan gereja berdiri secara berdampingan. Namun kini rumah roh tersebut lebih berfungsi sebagai kawasan bagi kaum laki-laki untuk membaur satu sama lain.
Situasi yang nyaris serupa juga sanggup dijumpai di desa Wombun. “Para misionaris menentangnya,” kata Simon Kemaken yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar di desa tersebut. “(Namun) kami masih melaksanakan upacara setiap beberapa tahun menghormati buaya. Namun di masa kini hanya sedikit cowok lokal yang menjalani penyayatan.” Selain persoalan benturan budaya, persoalan biaya ritual penyayatan yang tinggi juga menjadi alasan mengapa ritual ini mulai ditinggalkan warga setempat.
Pengaruh agama Kristen sendiri bersama-sama turut dirasakan di Parambei. Hal tersebut sanggup dilihat dari adanya gereja Kristen di desa tersebut. Malingi juga mengakui kalau para misionaris sempat menganjurkan warga Parambei untuk meninggalkan ritual insan buaya. Namun kenyataannya, ritual tersebut masih tetap berlanjut hingga sekarang. “Pengaruh roh senantiasa besar lengan berkuasa di desa kami, namun kaum misionaris mencoba mensugesti praktik tradisional kami,” papar Malingi.
Ritual insan buaya sendiri bukanlah satu-satunya produk budaya tradisional setempat yang bertemakan buaya. Setiap awal Agustus, penduduk di sekitar Sungai Sepik bakal menggelar pekan raya buaya selama tiga hari di Ambunti. Dalam pekan raya ini, penduduk dari bermacam-macam desa akan berkumpul sambil melaksanakan tarian dan nyanyian selama beberapa jam.
Seperti yang sudah sanggup diduga, pekan raya ini juga menampilkan hal-hal yang bertemakan buaya. Para penerima pekan raya mengenakan untaian kalung yang terbuat dari rangkaian gigi buaya. Sebagian dari mereka juga menghiasi tameng tradisionalnya dengan motif ibarat ekspresi buaya yang sedang menganga. Dalam sejumlah kesempatan, para penari bahkan terlihat memegang buaya sungguhan dengan ekspresi yang sudah diikat.
Sumber :
https://www.bbc.com/news/stories-45297699
http://www.gudmundurfridrikssonblog.com/a-spiritual-connection-to-the-crocodiles-of-png/
https://anywayinaway.com/papua-new-guinea-sepik-river-crocodile-festival/