Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Filsafat Islam Kel 1


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini sanggup tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas proteksi dari pihak yang telah membantu dalam terselesainya makalah ini.

Dan cita-cita kami semoga makalah ini sanggup menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya sanggup memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah supaya menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh lantaran itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.















Bandung, 03 April 2017

Penulis


BAB I

PENDAHULUAN


Filsafat Islam di potongan timur Dunia Islam (Masyiriqi) berbeda dengan filsafat islam di Maghribi (bagian barat Dunia Islam). Diantara para filosof Islam di kedua tempat tersebut terjadi perselisihan pendapat wacana banyak sekali pokok pengertian dan pemikiran-pemikirannya.
Pada makalah ini akan di paparkan para tokoh-tokoh filsafat dari Timur, mulai dari biografi, karya serta pemikiran-pemikirannya.
1. Siapa tokoh-tokoh filsafat timur?
2. Bagaimana pemikiran-pemikirannya?

C. Tujuan

Mengetahui biografi dan pemikiran para tokoh filsafat dari Timur.

BAB II

PEMBAHASAN


A.1. BiografAl-Kindi

Nama lengkapnya adalah: Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qeis Al-Kindi. Dia berasal dari kabilah Kindah, termasuk kabilah terpandang dikalangan masyarakat dan bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. Sesepuh Al-Kindi yang paling dini memeluk Islam ialah Al-Asy’ats bin Qies, sesorang yang memimpin perutusan kabilah Kindah menghadap Rasul Allah SAW. Al-Asy’ats termasuk salah seorang sahabat Nabi yang paling pertama tiba ke kota Kuffah. Ia pun termasuk salah satu diantar para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi. Bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash ia terut berkecimprung dalam peperangan melawan Persia Iraq.
 Al-Kindi mempelajari banyak sekali cabang ilmu keagamaan menyerupai hokum syari’at dan ilmu Kalam. Ia terut menyumbangkan pemikirannya secara efektif dalam memasukan filsafat ke dalam khazanah pengetahuan Islam. Ia menerjemahkan beberapa buku filsafat Suryani yang dikuasainya dengan baik dan memperbaiki penerjemahan buku-buku lain, menyerupai buku Theologia (Ar-Rububiyyah atau ketuhanan) yang diterjemahkan oleh Ibn Na’imah Al-Himshi.
Maka beberapa sejarawan Arab memandang Al-Kindi sebagai salah satu penerjemah, sebagaimana yang dikatakan oleh penulis buku Thabaqqatul-Athiba (Golongan Doker), bahwa: “Para penerjemah yang mahir dalam Islam ada empat orang: Hunain bin Ishaq, Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Tsabit bin Qurrah dan ‘Umar bin Al-Farkhan At-Thabari”. Namun, tidak berarti bahwa Al-Kindi hanya mahir penerjemahan, lantaran penulis buku tersebut Ibn Juljul menerngkan lebih lanjut: “Ia (Al-Kindi) telah menerjemahkan banyak buku filsafat, menjelaskan banyak sekali macam masalah, menyimpulkan banyak sekali macam problema yang sulit dan mengungkap problema yang sukar dipahami". Ibn Juljul juga mengatakan: “Al-Kindi menguasai ilmu kedokteran, filsafat, ilmu pasti, semantic, akil mengubah lagu, menguasai ilmu ukur (geometri), aljabar, ilmu falak dan astronomi”. Kenyataan tersebut menerangkan betapa luas pengetahuannya sebelum ia berfilsafat.
Tidaklah mengherankan bila Al-Kindi mengusai banyak macam ilmu pengetahuan, lantaran ia tumbuh dan dibesarkan di kufah yang merupakan kota sentra perkembangan ilmu, khususnya ilmu kimia. Kita mengetahui bahwa Al-Kindi menaruh perhatian istimewa terhadap ilm tersebut. Hingga zaman kita kini ini risalah yang ditulisnya wacana kimia’ul-‘ithriy (chemical aromatic) diterbitkan lagi dalam Bahasa Jerman di Leipzing. Setelah pindah dari Kufah ke Baghdad, Al-Kindi berkecimprung secara pribadi dalam dunia pendidikan ilmu dan filsafat hingga berhasil menguasai dengan baik. Hubungannya dengan Khalifah Al-Ma’mun dan Khalifah berikutnya, Al-Mu’tashim memberi dorongan besar lengan berkuasa kepadanya. Terutama hubungannya dengan putera Al-Mu’tshim yang berjulukan Ahmad. Ahmad adalha anak didik khusus Al-Kindi. Dan Al-Kindi banyak menghadiahkan risalah yang ditulisnya kepada Ahmad. Sehubungan dengan ini Ibn Nubatah menyampaikan dalam bukunya yang berjudul Syarhul-‘uyun: “Kerajaan Al-Mutashim diperintah oleh Al-Kindi dengan buku-buku yang ditulisnya”. Nama Al-Kindi terus marak hingga zaman Khalifah Al-Mutawakkil. Pada zaman inilah ia menjadi target intrik dan fitnah dari mereka yang iri hati, hingga ia dijatuhi eksekusi oleh Al-Mutawakkil dan perpustakaanya yang terkenal dengan nama Al-Kindiyyah disita dan kemudian dijadikan milik Al-Mutawakkil. Tidak diragukan lagi perpusatakaannya tentu penuh dengan buku-buku berharga. Demikian terkenalnya sehingga banyak orang yang dengki dengan dirinya.
Al-Jahidz dalam bukunya Al-Bukhala (orang-orang kikir) menyebut Al-Kindi sebagai orang kikir. Al-Jahidz melukiskan kekikirsnnya itu dalam bentuk karikatur yang sangat terkenal pada masa itu. Kendati demikian kehidupan Al-Kindi tampak mewah. Ia mempunyai koleksi banyak sekali jenis binatang langka dalm taman rumahnya dan dikemukakan Al-Jahiz dalam bukunya Alhayawan (Margasatwa). Namun berdasarkan kenyataanya Al-Kindi memang hidup terpisah dari masyarakat dan memecilkan diri, menekuni pembacaan buku-buku dan menulis karya ilmiah. Mengenai kehidupannya itu ada sekerumit riwayat yang menceritakan sebgai berikut: Ia mempunyai seorang pedagang besar. Pada suatu ketika anaknya itu tersarang penyakit jiwa, dan para dokter tidak sanggup mengobatinya. Meskipun bertetangga dengan Al-Kindi namun tidaklah terjadi kekerabatan bersahabat sebagaimana halnya tetangga. Ketika si pedangang itu bertnya kepada teman-temannya mencari dokter yang sanggunp mengobati penyakit anaknya, ia menerima jawaban: “Tetangga anda itu seorang filosof dan seorang dokter yang lebih mengerti cara penyembuhan penyakit itu. Kalau anda mau tiba padanya tentu anda akan menerima apa yang anda inginkan”. Akhirnya Al-Kindi mengobati anak tetangganya itu dengan music dan berhasil menyembuhkannya.
Karena Al-Kindi meenguasai banyak sekali jenis ilmu pengetahuan, juga Karen ia seorang Arab yang beragama Islam, dan tidak menyerupai orang lain yang mempunyai pengetahuan dari tejemahan buku-buku yang ditulis oleh para dokter Suryani maka ia berhak disebut “Filosof Arab” atau “Filosof Islam”.
Al-Kindi telah berjasa dalam usahanya mejadikan filsafat sebagai salah satu khazanah pengatahuan Islam setelah disesuiakan lebih dulu dengan agama. Dalam risalahnya yang dihadiahkan kepada Ahmad bin Al-Mu’tshim Billah wacana filsafat “Pertama” (Metaphysic) Al-Kindi menyatakan pendapatnya, baik agama maupun filsafat kedua-duanya menghendaki kebenaran. Agama menempuh jalan syari’at, sedangkan filsafat menempuh jalan metoda pembuktian. Filsafat dipandanag sebagai hasil kesanggupan insan (human skill) yang menempati kedudukan tertinggi, mempunyai martabat yang mulia, dan diberi definisi sebagai pengetahuan wacana hakikat sagala sesuatu berdasarkan batas kesanggupan manusia. Filsafat yang mempunyai kedudukan serta martabat yang tertinggi dan termulian ialah filsafat ”Pertama” (filsafat metafisik), yakni pengatahuan wacana “Kebenaran Pertama” Al-Haqqul-Awwal) yang merupakan illah (sebab pokok) bagi semua kebenaran (Al-haqq), demikian Al-Kindi.

1. Epistemologi

Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia. Pertama, pengetahuan indrawi. Kedua, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan budi atau rasional. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh pribadi dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi (iluminasi). 

a.       Pengetahuan indrawi.
Pengetahuan indrawi terjadi secara pribadi ketika orang mengamati terhadap objek-objek material. Pengetahuan indrawi ini tidak memberi citra wacana hakikat suatu realitas. Pengetahuan indrawi selalu bersifat juz'iy (parsial). Pengetahuan indrawi sangat dekat pada pengindraannya, tetapi jauh dari citra wacana alam pada hakikatnya.

b.      Pengetahuan rasional.
Pengetahuan wacana sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan budi sifatnya universal, tidak parsial. Objek pengetahuan rasional ialah genus dan spesies, bukan individu. Orang mengamati insan berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih, dan lain sebagainya. Semua ini akan menghasilkan pengetahuan indrawi. Tetapi bila orang mengamati insan dan memeriksa hakikatnya sehingga hingga pada suatu kesimpulan bahwa insan yaitu makhluk berfikir, maka pengetahuan tersebut diperoleh dengan budi atau rasional, dan telah meliputi semua individu manusia. 

c.       Pengetahuan isyraqi.
Al-Kindi menyampaikan bahwa pengetahuan indrawi saja tidak akan hingga pada pengetahuan yang hakiki wacana hakikat sesuatu. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan wacana genus dan spesies. Selanjutnya, al-Kindi menyampaikan bahwa selain Nabi mungkin ada sebagian orang yang bisa memperoleh pengetahuan isyraqi meskipun derajatnya di bawah yang diperoleh para nabi yang berasal dari wahyu Tuhan. Hal ini mungkin terjadi pada orang-orang yang suci jiwanya. 

2. Metafisika

a. Filsafat ketuhanan.

Pandangan al-Kindi wacana ketuhanan sangat sesuai dengan aliran Islam. Bagi al-Kindi Allah yaitu wujud yang sebenarnya. Allah akan selalu ada dan akan ada selama-lamanya. Allah yaitu wujud yang sempurna, tidak didahului oleh yang lain. Dia tidak berakhir. Sedangkan wujud yang lain disebabkan adanya Allah. Menurut al-Kindi, benda-benda yang ada di alam ini mempunyai dua hakikat: sebagai juz'i (parsial) yang disebut 'aniah. Dan hakikat sebagai kulli (universal) yang disebut mahiyah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.

Tujuan final dalam filsafat yaitu untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan wacana Tuhan. Allah dalam filsafat al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti 'aniah dan mahiah. Allah tidak 'aniah lantaran Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari materi dan bentuk. Allah Tidak mahiah lantaran Allah tidak berupa genus atau spesies. Bagi al-Kindi, Allah yaitu unik. Dia hanya satu dan tidak ada yang setara denganNya. Dialah yang benar pertama, dan yang benar tunggal. Selain dariNya semuanya mengandung arti banyak. 

b. Filsafat alam.

Di dalam risalahnya yang berjudul al-Ibanat 'an al 'illat al-Fa'ilat al-Qaribat fi kawn wa al-Fasad, pendapat al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di alam ini sanggup dikatakan wujud yang faktual apabila terhimpun empat 'illat, yakni: materi benda, bentuk benda, pembuat benda, manfaat benda. Tentang barunya alam, al-Kindi mengemukakan tiga argumen, yakni gerak, waktu, dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak memperlihatkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda. Mustahil bila ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan niscaya berakhir.

Dalam pandangannya wacana alam, al-Kindi menolak secara tegas terhadap pandangan Aristoteles yang menyampaikan bahwa alam semesta ini tak terbatas atau kadim. Pendapat al-Kindi wacana barunya alam sama dengan pendapat kaum theologi muslim dan berbeda dengan pandangan kaum filosof muslim yang tiba sesudahnya yang menyatakan bahwa alam ini kadim. Telah dijelaskan juga bahwa Quran hanya menginformasikan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah SWT. Akan tetapi, Quran tidak menginformasikan secara detail wacana proses penciptaannya. 




c. Filsafat Jiwa.

Jiwa merupakan unsur utama bagi manusia, bahkan ada yang menyampaikan sebagai intisari dari manusia. Kaum filosof muslim menggunakan kata al-nafs (jiwa) terhadap apa yang diistilahkan Quran sebagai al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi nafsu, nafas, dan roh.

Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, al-Kindi menyampaikan bahwa jiwa yaitu jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan kekerabatan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Sementara itu, jisim (tubuh) mempunyai hawa nafsu dan amarah.

Hal ini sanggup dijadikan indikasi bahwa jiwa yang melarang tentu tidak sama dengan tubuh sebagai yang dilarang. Dalam hal ini, al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang menyampaikan bahwa jiwa insan sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, yakni materi dan bentuk. Materi ialah badan. Bentuk ialah jiwa manusia. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan, dan begitu pula sebaliknya. Pendapat ini mengandung arti kemusnahan tubuh membawa kemusnahan jiwa. Namun pendapat al-Kindi dalam kasus ini lebih dekat pada pendapat Plato yang menyampaikan bahwa kesatuan antara jiwa dan tubuh yaitu kesatuan accident. Binasanya tubuh tidak membawa binasanya jiwa. Di sisi lain al-Kindi juga menolak pendapat Plato yang menyampaikan bahwa jiwa berasal dari alam ide. 
Nama lengkap Al-Razi yaitu Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan saebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota renta yang masa kemudian berjulukan Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251M/865M.
Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecappi. Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terjangkit penytakit akhir eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu, ia beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.
Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, lantaran itu ia sering menawarkan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Namun, ungkapan Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd terlalu berlebihan yang menyampaikan bahwa Al-Razi tidak mempunyai harta hingga ia meninggal dunia. Kenyataannya ia sering pulang pergi antara Baghdad dan Rayy. Hal ini memperlihatkan bahwa ia masih mempunyai uang.
Karena reputasinya di bidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit di sana pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota kelahirannya, kemudian ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun.
Disiplin ilmu Al-Razi meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih terkenal sebagai mahir kimia dan mahir kedokteran dibanding sebagai seorang filosof. Ia sangat rajin menulis dan mwmbaca, agaknya inilah yang mengakibatkan penglihatannya berangsur-angsur melemah dan kesudahannya buta total. Akan tetapi, ia menolakl untuk diobati dengan menyampaikan pengobatan akan sia-sia belaka lantaran sebentar lagi ia akan meninggal.
Karya Tulisnya
   Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin berguru dan menulis sehingga tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis dalam banyak sekali bidang ilmu pengetahuan.karya tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah Kitab al-Asrar yang di terjemahkan kedalam bahasa latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang terbesar ialah Al-Hawi yang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran, diterjemahkan kedalam bahasa latin dengan judul Continens yang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa hingga periode ke 17 M. Bukunya di bidang kedokteran ialah Al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid disalin ke dalam banyak sekali bahasa barat hingga final periode XV M. Kitab Al-Judar wa al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis wacana penyakit cacar dan campak beserta pencegahannya, di terjemahkan ke dalam orang ke dalam banyak sekali bahasa barat dan terakhir ke dalam bahasa inggris tahun 1847 M, dan dianggap buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah al-Thibb al-Ruhani, al-Sirah al-Falsafiah, dan lainnya. Sebagian karya tulisnya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang berjulukan al-Rasa’il Falsafiyyat yang banyak dikutip dalam buku ini.
   Amat disayangkan karya tulis Al-Razi lebih banyak yang hilang daripada yang masih ada sehingga sulit mencantumkan nama buku dan isinya satu persatu.

B.2. Pemikiran Ar- Razi

1. Lima Kekal (Kadim)
        Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima yang Kekal, yakni al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala), al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa universal), al-Hayula al-Ula (Materi pertama), al-makam al-muthlaq (tempat/ruang absolut) dan al-Zaman al-Mutlaq (masa absolut).
        Menurut Al-Razi dua dari lima yang Kekal itu hidup dan aktif: Allah dan Roh. Satu diantaranya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.
        Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan pengatur selkuruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (Creatio ex nihilo), tetapi dari materi yang telah ada. Oleh lantaran itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim, alasannya yaitu penciptaan disini dalam arti disusun dari materi yang telah ada. Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak sanggup dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi materi alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada semenjak azali. Pada sisi lain, bila Allah membuat alam dari tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada lantaran hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya, penciptaan menyerupai itu suatu hal yang tidak mungkin.
        Timbulnya doktrein adanya yang kekal selain Allah, dalam fisafat Al-Razi ini, agaknya disebabkan filsafat adanya Allah yang merupakan sumber Yang Esa yang tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.
        Jiwa universal merupakan al-Mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hodup dan bergerak, sulit diketahui lantaran ia tanpa rupa, tetapi lantaran ia dikuasai naluri untuk bersatu deengann al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang sanggup mendapatkan fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik, Allah tiba menolong roh dengan membuat alam semesta termasuk tubuh insan yang ditempati roh.
        Begitu pula Allah membuat akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kabahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang bahwasanya yaitu melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat.
        Jiwa yang tidak sanggup menyucikan dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di alam materi. Akan tetapi, apabila ia sudah higienis ia sanggup kembali ke alam asalnya, ketika itu alam hancur dan jiwa serta materi kembali kepada keadaannya semula.
        Materi pertama yaitu kekjal (jauhar qadim). Ia disebut juga hayula muthlaq (materi mutlak), yang tidak lain yaitu atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi. Pendapat Al-Razi menyerupai ini mengesankan menyerupai dengan Demokritos, namun pendapatnya terang berbeda.
        Atom-atom yang tidak terbagi itu, berdasarkan Al-Razi, mempunyai volume (‘azhm). Oleh lantaran itu, ia sanggup dibentuk. Dengan penyusunan atom-atom tersebut terbentuklah alam dunia. Paretikel-partikel materi alam memilih kualitas-kualitas primer dari materi tersebut. Partikel yang lebih padat menjadi unsur tanah, partikel yang lebih renggang daripada unsur tanah menjadi unsur air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara, dan yang jauh lebih renggang menjadi unsur api.
        Sebagaimana ruang, waktu atau zaman juga dibedakan Al-Razi antara waktu mutlak (tak terbatas) dan waktu mahshur (terbatas). Untuk yang pertama ia sebut dengan al-dahr, bersifat kadim dan substansi yang bergerak atau mengalir (jauhar yajri). Sementara itu, waktu mahshur yaitu waktu yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari8. Waktu terbatas ini tidak kekal, yang ia sebut dengan al-waqt.
        Dengan demikian, waktu mutlak atau absolut, berdasarkan Al-Razi, sudah ada sebelum adanya waktu terbatas ini yang terikat dengan gerakan bola bumi.
2. Akal, Kenabian, dan Wahyu
        Al-Razi dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Akal, menurutnya, yaitu karunia Allah yang tersebar untuk manusia. Dengan budi insan sanggup memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan sanggup memperoleh pengetahuan wacana Allah. Oleh alasannya yaitu itu, insan tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus menawarkan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hlm.
        Demikian di antara ungkapan Al-Razi yang dinilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini terang akan membawa rusaknya reputasi Al-Razi. Bahkan, Harun Nasutiuon menyampaikan bahwa Al-Razi yaitu filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan pahamm yang dianut umat islam. Selanjutnya, Harun Nasution menyimpulkan dari gagasan-gagasan Al-Razi tersebut, yakni : a. Tidak percaya pada wahyu, b. Al-Qur’an bukan mukjizat, c. Tidak percaya p[ada nabi-nabi, d. Adanya hal-hal yang kekal selain dari Allah.
        Dalam buku al-Thibb al-Ruhani tidak ditemukan keterangan bahwa Al-Razi mengingkari kenabian atau agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepadanya supaya mendapatkan kenikmatan di alam abadi berupa nirwana dan mendapatkan laba berupa ridho Allah. Lebih terang ia katakan sebagai berikut.
        Manusia yang utama dan yang melaksanakan syariah secara sempurna, tidak perlu takut terhadap kematian. Hal ini disebabkan syariah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi.
        Al-Razi terkenal sebagai mahir dalam ilmu kedokteran (sains) ketimbang ilmu spekulatif (filsafat). Oleh lantaran itu, dalam penjelasannya wacana budi berdasarkan semangat rasional empiris eksperimental, hal yang mengesankan ialah bahwa ia hanya percaya pada budi semata dan tidak lagi percaya kepada wahyu. Seperti telah dikemukakan bahwa kenyataan ini tidak ditemukan dalam tulisan-tulisannya.
Al-farabi merupakan seorang tokoh ilmuan islam yang sangat disegani oleh kenyakan tokoh ilsam mahupun bukan islam yang lain.Hal ini demikian kerana kebijaksanaannya dan sifatnya yang sangat mengasihi ilmu serta banyak membuat kajian demi mendapatkan ssuatu ilmu.Al-Farabi menyatakan bahawa falsafah atau ilmu ini yang merupakan asas kepada kesempurnaan dan kebahagiaan yang paling tinggi bagi insan yaitu berasal dari kalangan kelompok Chaldeans iaitu penduduk awal Mesopotamia.Ilmu ini kemudiannya tersebar ke Mesir dan dari Mesir terus kepada bangsa Greek kemudiannya terus kepada orang-orang Syriadan kemudiannya kepada bangsa Arab.

Adalah tidak sukar untuk mengandaikan bahawa al-Farabi menganggap falsafah sebagai suatu yang boleh mereput dan pupus. Kerana itulah dia berharap supaya sanggup menghidupkan semula ilmu ini dan mengembalikannya ke tempat asal lahirnya ilmu ini. Beliau menganggap falsafah sebagai suatu yang sangat penting untuk kebaikan masyarakat, walaupun sesebuah masyarakat itu ditadbir oleh undang-undang wahyu.

Al-Farabi menyatakan dalam Madinah Fadilah: “Falsafah sepatutnya terasing daripada kerajaan, sungguhpun setiap kelayakan lain untuk memerintah mungkin boleh ditunjukkan, negara yang baik ialah yang kurang bilangan pemimpinnya, pemimpin negara yang bahwasanya bukannya (bersifat seperti) raja yang sebenar dan (jika sebaliknya) negara akan menemui kehancuran; dan bila tiada orang yang bijak yang membantu pemimpin negara, maka kemudiannya selepas suatu tempoh masa, negara itu akan musnah.”

Nama sebenar Al-Farabi ialah Abu Nasr Muhammad B Turkhan bin al-Uzalagh al-Farabi.Beliau dikenali dengan nama Alpharabius di Barat.Beliau berketurunan Parsi. Beliau menerima gelaran Al-Farabi kerana kelahirannya di Farab yang juga disebut Kampung Utrar.Daerah ini dahulunya termasuk dalam wilayah Iran namun kini termasuk ke dalam wilayah Republik Uzbekistan yang merupakan daerah Turkestan Rusia.Bapa dia merupakam seorang jeneral yang mempunyai posisi penting di Parsi manakala ibu dia berdarah Turki asli. Berdasarkan catatan dari Awarudin Harahap yang bertahun 1981, Al-Farabi dilahirkan pada tahun 258 H bersamaan 870 M di dalam keluarga yang berada dan dipenuhi dengan kesenangan.Tetapi kehidupan dia tidak dipengaruhi dengan kemewahan, bahkan dia lebih suka memikir kasus metafizik walaupun berada dalam bidang fiqh yang membolehkan dia menjawat jawatan qadhi tetapi bidang itu tudak memberi kepuasan kepada dirinya.

Beliau kesudahannya mengembara menuju Baghdad dan mempelajari ilmu mantik daripada Abi Basyar Ibn Bata dan kemudiannya daripada Yuhana b Hailan di Haran. Beliau tekun mempelajari falsafah walaupun usianya sudah mencecah 40 tahun. Beliau meminati untuk menyingkap kasus yang kabur dan caranya ialah dengan melaksanakan pengembaraan.Beliau mahir menguasai banyak bahasa di antaranya ialah, bahasa Arab, Turki dan Parsi serta menguasai muzik secara teori dan praktikal.Diriwayatkan dia tidak mengambil berat kasus dunia menyerupai pakaian, tempat tinggal bahkan dia telah meninggalkan jawatan qadhi yang disandang di negerinya.Beliau selalu keluar waktu malam bagi mencari tempat-tempat berpokok dan basah bagi membaca dan mendengar muzik.

Beliau cuba menyatukan pendapat Aristo dan Plato serta Aristo dan.Galinousdan antara semua mereka dengan aliran islam.Tindakan dia bagaimanapun telah dikritik oleh Hibbatullah Ibn Albarakah Al Baghdadi dengan proteksi pemikiran Al Ghazali kerana sealiran dengan Aflutin.Al Baghdadi menyifatkan falsafah dia sebagai bertabiat Aflutin tetapi bersifat Aristo.Hal ini disebabkan Al-Farabi bergantung kepada karya-karya yang telah diselewengkan.
Karya al-Farabi kebanyakannya telah hilang dan yang hingga kepada kita hari ini hanyalah beberapa potongan ayat dan ada antaranya bertentangan antara satu sama lain dan memerlukan kepada penyusunan yang baru.Karya dia telah hingga pada angka 117 termasuk buku dan risalah.Ianya mencakupi mantiq, pendidikan, nature, ilmu ketuhanan, akhlak, politik, falsafah, matematik, kejuruteraan, perbahasan dan astronomi.Buku yang paling bermutu ialah ensiklopedia yang berjulukan ‘ihksou al Ulum yang dianggap karya terpenting berbahasa Arab dalam penyusunan ilmu.Di dalamya dia telah menbahagikan ilmu mengikut zaman.

Antara karangan dia di bidang ketuhanan ialah “Al Nafs”, “Al Jauhar” dan “Al Zaman”.Dalam bidang falsafah dia telah mengarang buku “Ma’ani al Aqlu” dan Kitab “Uyunu al Masail".Antara karangan dia di bidang bahasa ialah buku “Kitabu al Huruf” dan “Kitabu al Alfaz”.Al Farabi telah digelar sebagai Failasuf Islam dan guru kedua selepas Aristo kerana kemashurannya di bidang falsafah dan ilmu-ilmu.Ibn Halkhan telah mensifatkan dia sebagai mahir falsafah Islam yang teragung.Antara muridnya yang terulung ialah Ibn Sina, Mata b. Yunus dan Abu Zakaria b. ‘Adi Al Takriti.

Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental.Ia meninggalkan risalah penting.Filsafatnya menjadi teladan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan juga Timur.Selama sepeninggalnya, Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam.Pemerintah sentra Abbasiyah di Baghdad sedang berada dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi.Pada ketika itu kemunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan.Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam.Seperti yang dinyatakan dia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi tetap menawarkan donasi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbaharui tata negara.Pembaruan itu menurutnya hanya sanggup berhasil apabila sudah berakar kukuh dalam fondasi filsafat.

Walaupun al-Farabi merupakan mahir metafizik Islam yang pertama dan terkemuka namun dia lebih dikenali di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.Para mahir setuju menawarkan kebanggaan yang tinggi kepadanya, terutama sebagai mahir budi yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masa itu.Beliau berguru budi daripada Yuhanna ibn Hailan di Baghdad dan memperbaiki bidang logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan oleh al-Kindi.

Kehidupan al-Farabi terbahagi kepada dua, iaitu pertama bermula dari semenjak lahir hingga usia lima tahun.Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa.Beliau mempelajari fikih, hadis dan tafsir al-Qur’an serta mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.Periode kedua ialah pada usia renta dan kematangan intelektual.Baghdad merupakan tempat berguru yang terkemuka pada periode keempat.Di sana dia bertemu dengan sarjana dari pelbagai bidang, antaranya para filosof dan penerjemah.Beliau tertarik untuk mempelajari logika, dan antara mahir budi paling terkemuka yaitu Pemikiran Metafisika Abu Bisyr Matta ibn Yunus.Al-farabi telah berguru beberapa usang dengannya.Baghdad merupakan kota yang pertama dikunjunginya.Beliau telah berada selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudiannya berpindah ke Damaskus.Di sini dia berkenalan dengan Gabenor Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani.Gabenor ini sangat terkesan dengan al- Farabi, kemudian diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana.

Kota kesayangannya yaitu Damaskus.Beliau menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, tetapi di sebuah kebun yang terletak di pinggir kota.Di tempat inilah dia menerima banyak wangsit menulis buku-buku filsafat.Penyelidikanya wacana filsafat Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles begitu mendalam sehingga digelari julukan Mu’alim Tsani atau Guru Kedua kerana Guru Pertama diberikan kepada Aristotles, disebabkan perjuangan Aristotles meletakkan dasar ilmu budi yang pertama dalam sejarah dunia.Al-Farabi memperlihatkan kehidupan spiritual dalam usianya yang sangat muda dan mempraktikkan kehidupan sufi.Beliau juga mahir muzik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama music yang masih sanggup didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India.20 Orde Maulawiyah dari Anatolia masih terus memainkan komposisinya hingga sekarang.Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bahagian.Buku-buku ini masih berupa naskah dalam bahasa Arab, tetapi sebahagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger.Teorinya wacana harmoni belum dipelajari secara mendalam.Pengetahuan estetika al-Farabi bergandingan dengan kemampuan logikanya.Beliau meniggal pada tahun 950 M pada usia 80 tahun.

Beliau meninggalkan sejumlah besar goresan pena penting.Karya al-Farabi sanggup dibagi menjadi dua, satu antaranya mengenai budi dan mengenai subjek lain.Tentang budi al-Farabi menyampaikan bahawa filsafat dalam erti penggunaan budi fikiran secara umum dan luas yaitu lebih dahulu daripada eksistensi agama, baik ditinjau dari sudut waktu mahupun dari sudut logik.Dikatakan lebih dahulu dari sudut pandang waktu, kerana al-Farabi berkeyakinan bahawa masa permulaan filsafat, dalam erti penggunaan budi secara luas bermula semenjak zaman Mesir Kuno dan Babilon, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa.Dikatakan lebih dahulu secara budi kerana semua kebenaran dari agama harus difahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.

Karya al-Farabi wacana budi menyangkut bahagian-bahagian berbeza dari karya Aristotles Organon, baik dalam bentuk komentar mahupun ulasan panjang. Kebanyakan goresan pena ini masih berupa naskah dan sebahagian besar naskah-naskah ini belum ditemukan.Manakala karya dalam kelompok kedua menyangkut pelbagai cabang pengetahuan filsafat, fizik, matematik dan politik.Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berhubungan dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.

C.2. Pemikiran Al-Faraby

1.      Filsafat Metafisika dan Teori Emanasi
Scara umum metafisika sanggup dikatakan sebagai suatu pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau wacana segala sesuatu yang ada. Emanasi ialah teori wacana keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”. Menurut al-Farabi, Tuhan yaitu pikiran yang bukan berupa benda.

Konsep ini erat kaitannya dengan teori wujud (ekksistensi) yang oleh al-Farabi dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1.    Wujud yang mungkin ada lantaran lainnya (mumkin al-Wujub). Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurt tabi’atnya bisa wujud dan bisa pula tidak. Karena matahari telah wujud, maka cahaya itu menjadi wujud disebabkan wujudnya matahari. Wujud yang mungkin ini menjuadi bukti adanya alasannya yaitu yang pertama, lantaran segala yang mungkin harus berakhirpada suatu wujud yang nyata dan pertama kali ada.
2.    Wujud yang ada dengan sendirinya ( wajib al-wujud). Wujud ini yaitu wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Kalau ia tidak ada, maka yang lainpun tidak akan ada sama sekali, ia yaitu alasannya yaitu pertama bagi semua wujud yang ada. Dan wujud yang wajib ada inilah Tuhan[31]
3.    Berdasarkan konsep ini, al-Farabi berpendirian, bahwa seluruh yang ada (maujud) tidak terlepas dari keadaan wajibul wujud atau mumkin wujud. Yang mumkinul wujud lahir lantaran ada sebab, sedangkan yang wajibul wujud yaitu ada dengan tidak bersebab, ia mempunyai Zat yang Agung dan sempurna, ia mempunyai kesanggupan mencipta dalam keseluruhan semenjak azali.[32]
Sesuai dengan firman Allah dalam Surat Yasin ayat 82.ُ
”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).

Al-Farabi beropini Tuhan sebagai akal, berpikir wacana diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut budi pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir wacana wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).

Lebih lanjut, urutan-urutan emanasi al-‘Aqil itu sanggup digambarkan sebagai berikut :
1.    Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir wacana dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
2.    Wujud III / Akal kedua mengakibatkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
3.    Wujud IV/Akal Ketiga mengakibatkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus
4.    Wujud V/Akal Keempat mengakibatkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
5.    Wujud VI/Akal Kelima mengakibatkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
6.    Wujud VII/Akal Keenam mengakibatkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
7.    Wujud VIII/Akal Ketujuh mengakibatkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
8.    Wujud IX/Akal Kedelapan mengakibatkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
9.    Wujud X/Akal Kesembilan mengakibatkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.

Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah budi dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini diubahsuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap budi dibutuhkan satu planet pula, kecuali budi pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa berdasarkan Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauh dan bintang-bintang tetap.

Ia menyatakan bahwa jumlah budi ada sepuluh, sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan budi kesepuluh yaitu budi bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi.
2.      Filsafat Kenabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud yaitu agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi yaitu insan menyerupai insan lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh insan lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi yaitu utusan Allah yang mengemban kiprah keagamaan. Nabi yaitu utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi.
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan budi fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia yaitu seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya wacana keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW.
Pendapat al-Farabi di atas memperlihatkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi bila hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, lantaran antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari aturan alam lantaran sumber aturan alam dan mukjizat sama-sama berasal dari budi Mustafad
Menurutnya, Nabi dan filosof yaitu dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, lantaran keduanya sanggup berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang dibutuhkan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih kekerabatan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.
3.      Filsafat Politik
Dalam duduk kasus filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al- Farabi beropini bahwa insan yaitu makhluk sosial, makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan insan tidak bisa memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa proteksi atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan menawarkan kepada insan akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di alam abadi nanti.[37] Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai seorang muslim di masyarakat.
4.      Filsafat Pendidikan
Al-Farabi berpesan, dalam perjuangan memperdulikan dan mendidik orang jahat hendaklah dilakukan dengan cara pendidikan ketauladanan, sedangkan pada orang udik hendaknya diajarkan hal-hal yang mudah secara disiplin dan terus-menerus. Sementara pada mereka yang mempunyai budbahasa yang baik hendaknya diajarakan wacana banyak sekali ilmu pengetahuan sesuai dengan tingkatnya.

Dalam sebuah risalahnya dia menyebutkan bahwa yang pertama dilakukan dalam pendidikan dan pengajaran yaitu dimulai dengan memperbaiki akhlak. Hal ini dikarenakan orang yang tidak mempunyai kepribadian yang baik mustahil berguru ilmu baik. Alasan yang dikemukan al-Farabi ini berdasarkan pendapat filsuf Plato “ Sesungguhnya orang yang tidak higienis dan suci tidak dekat dengan orang yang higienis dan suci “.

Menurut al-Farabi, memperbaiki budbahasa tidak cukup hanya dengan menggunakan perkataan. Akan tetapi, hal yang lebih penting yaitu dengan contoh dan perbuatan. Setelah memperbaiki jiwa syahwatnya, gres perbaikan perkataannya, atau dengan kata lain hal pertama yang harus dilakukan dalam proses pendidikan dan pengajaran yaitu memperbaiki budbahasa praktis, gres kemudian memperbaiki budbahasa atau wawasan-wawasannya.
Ikhwan Al-Shafa’ (Brethrem of Pulity atau The Pure Brethen) yaitu nama sekelompok permikir Muslim diam-diam (filosifiko-religius) berasal dari sekte Syiah Ismaiyah yang lahir di tengah-tengah komunitas Sunni sekitar periode ke-4 H/10 M di Bashrah. Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya dikalangan pengikutnya. Kerahasiaan kelompok ini, yang juga menamakan diri mereka khulan al-wafa’, ahl al-adl dan abna’ al-Hamd, baru terungkap setelah berkuasanya dinasti buwaihi, yang berpaham Syiah di Baghdad pada tahun 983 M. Ada kemungkinan kerahasiaannya ini di pengaruhi oleh paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan) aliran syiah lantaran basis kegiatannya berada di tengah masyarakat sunni yang tidak sejalan dengan ideologinya. Tokoh terkemuka sebagai aktivis organisasi ini ialah Ahmad Ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad ibnu Nashr Al-Busti yang terkenal dengan sebutan Al-Muqaddasi, Zaid ibnu Rifa’ah dan Abu Al-Hasan Ali ibnu Harun Al-Zanjany.
Karya Tulisnya
     Pertemuann-pertemuan yang di selenggarakan kelompok ikhwan Al-Shafa ini menghasilkan karya tulis sebanyak 52 risalah yang mereka namakan dengan Rasa’il Ikhwan al-Shafa’. Ia merupakan ensiklopedia terkenal wacana ilmu dan filsafat yang ada pada waktu itu. Ditinjau dari segi isi, rasa’il ini sanggup diklasifikasikan menjadi empat bidang :
a.     14 risalah wacana matematika, yang meliputi geometri, astronomi, musik, geografi, seni, modal, dan logika.
b.    17 risalah wacana fisikka dan ilmu alam, yang meliputi geneologi, mineralogi, botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran.
c.     10 risalah wacana ilmu jiwa, meliputi metafisika pythagoreanisme dan kebangkitan alam.
d.    11 risalah wacana ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi kepercayaan dan keyakinan, kekerabatan alam dengan Allah, kepercayaan mereka, kenabian dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah, magic dan azimat.

1.    Al-Tawfiq dan Al-Talfiq
            Pemikiran al-tawfiq (rekonsiliasi) Ikhwan Al-Shafa’ terlihat pada tujuan pokok bidang keagamaan yang hendak mereka capai, yakni merekonsiliasikan atau menyelaraskan antara agama dan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaaha rekonsiliasi antara agama dan filsafat bahwasanya telah dilakukan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Akan tetapi, bedanya kedua filosof Muslim ini hanya mengupas keselarasan kebenaran filsafat dan agama, sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an. Sementara itu, Ikhwan Al-Shafa’ melangkah lebih jauh, mereka melepaskan sekat-sekat perbedaan agama. Karenanya rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat dengan agama islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama, ajaran, dan keyakinan yang ada. Kemudian, berdasarkan Klaim mereka, apabila dipertemukan dan disusun antara filsafat Yunani dan Syariah Arab, maka ia akan menghasilkan formulasi-formulasi yang lebih sempurna.
2.    Ketuhanan
            Ikhwan Al-Shafa’ melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka ilmu bilangan yaitu “lidah” yang mempercakapkan tauhid, al-tanzih, dan meniadakan sifat dan tasybih serta sanggup menolak atas orang yang mengingkari keesaan Allah. Dengan kata lain, pengetahuan wacana angka membawa pada legalisasi wacana keesaan Allah lantaran apabila angka satu rusak, maka rusaklah semuanya.
Tentang adanya Allah, berdasarkan Ikhwan Al-Shafa’, merupakan hal yang sangat gampang dan nyata. Hal ini disebabkan insan dengan fitrahnya sanggup mengenal Allah dan seluruh yang ada ini akan membawa insan pada kesimpulan niscaya wacana adanya Allah yang membuat segala yang ada.
3.    Emanasi (Al-faidh)
            Filsafat emanasi Ikhwan al-shafa’ terpengaruh oleh pythagoras dan plotinus. Menurut mereka, Allah yaitu pencipta dan mutlak Esa. Allah Maha Pencipta dan dari-Nya timbullah :
a.         Akal Aktif atau Akal Pertama (al-‘Aql al-Fa’al)
b.        Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyyat)
c.         Materi Pertama (al-Hayula al-ULa)
d.        Alam Aktif (al-Thabi’at al Fa’ilat)
e.         Materi otoriter atau Materi Kedua (al-Jism al-Muthlaq)
f.         Alam Planet-planet (‘Alam al-Aflak)
g.        Unsur-unsur alam terendah (‘Anashir al-Alam al-Sufla), yaitu air, udara, tanah, dan api.
h.        Materi gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu, insan termasuk dalam kelompok hewan, tetapi binatang yang berbicara dan berpikir.
4.    Matematika
            Dalam pembahasan matematika Ikhwan Al-Shafa’ dipengaruhi oleh Pythagoras yang mengutamakan pembahasannya wacana angka atau bilangan. Bagi mereka angka-angka itu mempunyai arti spekulatif yang sanggup dijadikan dalil wujud sesuatu. Oleh alasannya yaitu itu, ilmu hitung merupakan ilmu yang mulia dibanding ilmu empirik lantaran tergolong ilmu ketuhanan.
            Ilmu bilangan berkaitan dengan planet-planet. Masing-masing mempunyai kiprah khusus. Bulan bertugas membuat tubuh insan tumbuh dan berkembang. Merkuri bertugas mencerdaskan akal. Matahari bertugas memberi nikmat. Mars menawarkan sifat keberanian, keperkasaan, dan kemuliaan. Yupiter membimbing insan dalam pengembaraannya hingga pada kehidupan akhirat. Termasuk pengiriman nabi, juga berhubungan dengan peranan planet-planet tersebut.
5.    Jiwa Manusia
            Jiwa insan bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa insan banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh budi yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
Dalam tubuh manusia, jiwa mempunyai tiga fakultas :
a.    Jiwa Tumbuhan
Jiwa ini dimiliki oleh semua makhluk hidup : tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini terbagi dalam tiga daya : makan, tumbuh, dan reproduksi.
b.    Jiwa Hewan
Jiwa ini hanya dimiliki boleh binatang dan manusia. Ia terbagi dalam dua daya : penggerak dan sensasi (persepsi dan emosi)
c.    Jiwa Manusia
Jiwa ini hanya dimilki manusia. Jiwa yang mengakibatkan insan berpikir dan berbicara.

Ketiga fakultas jiwa diatas bersama dengan daya-dayanya bekerjasama dan menyatu dalam diri manusia. Disilah letak kelebihan insan dari makhluk ciptaan Allah yang lain. Sementara itu, wacana kebangkitan di akhirat, Ikhwan Al-Shafa’ sama pendapatnya dengan filosof Muslim pendahulunya, yakni
kebangkitan berbentuk rohani. Surga dan neraka dipahami dalam makna hakikat. Surga yaitu kesenangan dan neraka yaitu penderitaan.

PENUTUPAN

Al-Kindi menguasai ilmu kedokteran, filsafat, ilmu pasti, semantic, akil mengubah lagu, menguasai ilmu ukur (geometri), aljabar, ilmu falak dan astronomi. Kenyataan tersebut menerangkan betapa luas pengetahuannya sebelum ia berfilsafat.

Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin berguru dan menulis sehingga tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis dalam banyak sekali bidang ilmu pengetahuan.

Al-farabi merupakan seorang tokoh ilmuan islam yang sangat disegani oleh kenyakan tokoh ilsam mahupun bukan islam yang lain.Hal ini demikian kerana kebijaksanaannya dan sifatnya yang sangat mengasihi ilmu serta banyak membuat kajian demi mendapatkan ssuatu ilmu.

Ikhwan Al-Shafa’ (Brethrem of Pulity atau The Pure Brethen) yaitu nama sekelompok permikir Muslim diam-diam (filosifiko-religius) berasal dari sekte Syiah Ismaiyah yang lahir di tengah-tengah komunitas Sunni sekitar periode ke-4 H/10 M di Bashrah. Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya dikalangan pengikutnya.

Zar, Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam. Jakarta : Grafindo Persada
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1993. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
http://www.academia.edu/21857887/FILSAFAT_ISLAM_DI_DUNIA_ISLAM_TIMUR_IBNU_SINA