Penyebab Punahnya Dinosaurus Ternyata Bukan Cuma Gara-Gara Meteor
Antara ratusan hingga puluhan juta tahun yang lalu, makhluk-makhluk raksasa menguasai planet ini. Ya, merekalah dinosaurus. Makhluk-makhluk mirip reptil yang sempat menjadi makhluk paling mayoritas di permukaan Bumi. Namun layaknya pepatah “tak ada yang abadi”, era di mana dinosaurus menguasai dunia berakhir setelah mereka mengalami kepunahan massal.
Dinosaurus memang tidak sanggup dijumpai lagi di masa kini. Meskipun begitu, banyaknya fosil yang ditinggalkan oleh dinosaurus memperlihatkan kita isu mengenai mirip apakah kehidupan dinosaurus pada masa itu. Berkat karya-karya terkenal semisal seri film Jurassic Park, semakin banyak yang tertarik untuk mencari tahu lebih banyak soal dinosaurus.
Salah satu topik yang paling menarik untuk dibicarakan mengenai dinosaurus tentunya yaitu mengenai kepunahan mereka. Ada beberapa teori mengenai penyebab kepunahan dinosaurus. Namun dari sekian banyak teori tersebut, teori kepunahan oleh meteorit raksasa menjadi teori yang paling populer.
Teori itu sendiri didasarkan pada adanya jejak kawah meteorit raksasa di Semenanjung Yukatan, Meksiko. Sahabat anehdidunia.com berdasarkan perhitungan para ahli, sebuah asteroid raksasa berdiameter kurang lebih 12 km jatuh di permukaan Bumi 66 juta tahun yang lalu. Akibat begitu dahsyatnya hantaman asteroid tersebut, dinosaurus pun mengalami kepunahan massal dan sebanyak 3/4 makhluk hidup di Bumi turut menjadi korbannya.
Pertanyaan berikutnya yaitu apa penyebab hantaman asteroid tersebut sanggup menjadikan dampak susulan yang begitu hebat? Apakah besarnya dampak yang ditimbulkan oleh hantaman asteroid tadi semata-mata sebab ukurannya yang besar?
Menurut hasil studi yang dilakukan oleh ilmuwan Kunio Kaiho dan Naga Oshima, ternyata penyebabnya bukan hanya itu. Meteorit yang menghantam Bumi di zaman purba sanggup menjadikan tragedi yang demikian hebat sebab kebetulan lokasi hantamannya penuh dengan batuan yang mengandung minyak dan gampang terbakar.
Saat meteorit menghantam bebatuan tadi, hantamannya menjadikan jelaga yang terlontar ke atmosfer dan menghalangi masuknya sinar matahari ke permukaan Bumi. Sebagai akibatnya, Bumi pun pada masa itu mengalami pendinginan global. Suhu rata-rata permukaan Bumi pada masa itu menurun hingga -10 derajat Celcius.
Menurut klarifikasi kedua ilmuwan tadi dalam hasil penelitian yang mereka buat, hanya sebanyak 13 persen permukaan Bumi yang mengandung batuan berjelaga tadi. Dengan kata lain, bila meteor berukuran serupa mendarat di daerah lain, maka kepunahan dinosaurus mungkin tidak akan hingga terjadi.
“Ini yaitu hasil penelitian yang menarik sebab isinya... menyatakan kalau meskipun ukuran meteoritnya besar, peluang terjadinya kepunahan massal setelah itu ternyata kecil,” kata Paul Chodas, ilmuwan NASA yang mengelola penelitian di bidang pengamatan objek-objek di bersahabat Bumi.
“Kita mungkin sering mendengar sungguh tidak beruntungnya hantaman meteor ini bagi para dinosaurus, dan sungguh beruntungnya nasib kita, sebagai pemuncak dalam keluarga mamalia. Namun kini kita punya ukuran mengenai bagaimana tidak beruntungnya para dinosaurus dan bagaimana beruntungnya kita manusia!” sambungnya lagi.
Menurut Kaiho, dikala meteorit menghantam lokasi yang kini menjadi potongan dari kota pelabuhan Chicxulub di Meksiko, hantamannya menghasilkan api yang cukup untuk memperabukan batuan berminyak dan mengubahnya menjadi partikel-partikel karbon hitam berukuran mini berjumlah 1,7 milyar ton yang terlontar ke atmosfer. Jumlah yang di atas kertas cukup untuk menutupi satu stadion baseball.
Walaupun hujan seharusnya sanggup melarutkan partikel-partikel mini yang berada di ketinggian rendah, sebanyak 385 juta ton partikel mini masih akan tetap melayang-layang di atmosfer dan menghalangi masuknya sinar matahari yang amat vital bagi kehidupan di permukaan Bumi.
Kaiho mendasarkan hasil perhitungannya dari peta rekonstruksi mengenai lokasi-lokasi yang mungkin mengandung batuan berminyak di kiamat Cretaceous, zaman terjadinya kepunahan massal dinosaurus. Sahabat anehdidunia.com kebanyakan dari lokasi tersebut berada di tepi pantai dan masih mempunyai kaitan dengan lokasi-lokasi modern yang mempunyai kandungan minyak bumi.
Kaiho juga melaksanakan investigasi pada lapisan-lapisan bebatuan di banyak sekali belahan dunia yang di masa lampau pernah menjadi lokasi hantaman meteorit. Ia menemukan kalau sampel yang diambil di Haiti lebih mirip dengan sampel yang diambil di Spanyol ketimbang Meksiko. Padahal secara geografis, Haiti dan Meksiko berjarak lebih dekat.
“Adanya (kemiripan) memperlihatkan kalau sisa jelaganya berasal dari sumber yang sama, yang menyiratkan kalau jelaganya berasal dari batuan yang menjadi lokasi hantaman Chicxulub,” kata Kaiho mirip yang dikutip oleh National Geographic. “Kadar hidrokarbon pada batuan sedimen di lokasi hantaman mungkin menjadi penanda level-level pendinginan di darat dan lautan.”
Selama ini, teori yang diyakini mengenai kenapa jejak jelaga ditemukan pada fosil-fosil masa itu – kendati tidak selalu – yaitu akhir kebakaran hutan yang timbul secara luas setelah batuan yang terbakar dan terlontar ke atas akhir hantaman meteorit jatuh kembali ke Bumi akhir tertarik oleh gravitasi.
Namun Kaiho menyatakan kalau hasil penelitian terbarunya ini membantah teori tersebut. Pasalnya kebakaran semata tidaklah cukup dalam membuat jelaga berjumlah besar yang cukup untuk menurunkan suhu permukaan Bumi secara global. Ia menambahkan kalau jelaga yang ditimbulkan oleh asteroid tidak akan tersebar secara merata. Hal yang sejalan dengan data yang didapatnya, di mana data tersebut memperlihatkan kalau belahan Bumi utara mengalami pendinginan global dalam rentang waktu yang lebih usang dibandingkan belahan Bumi selatan.
Namun teori Kaiho sendiri tidak benar-benar bebas dari kelemahan. Pasalnya berdasarkan hasil pengeboran pada batuan di kawah meteorit Chixculub, tidak ada hidrokarbon berjumlah besar yang ditemukan di dalamnya.
Sean Gulick dari Universitas Texas lantas beropini bahwa bila hantaman asteroid melontarkan partikel-partikel mini yang menutupi cahaya matahari, maka partikel tersebut bukanlah jelaga hidrokarbon, melainkan uap sulfur. Sahabat anehdidunia.com kebetulan Gulick sendiri pernah ikut terlibat dalam ekspedisi untuk mengambil sampel kerikil Chixculub yang berada di bawah air.
Berdasarkan hasil studi terpisah yang dibentuk oleh Joanna Morgan – rekan ekspedisi Gulick – jumlah partikel welirang yang terlontar ke angkasa akhir hantaman meteor diperkirakan mencapai 325 gigaton. Jumlah yang lebih dari cukup untuk menurunkan suhu permukaan Bumi hingga jangka waktu tertentu.
Gulick sendiri tidak benar-benar menolak teori yang diajukan oleh Kaiho sebab ia setuju bila asteroid tersebut membuat efek kepunahan massal sebab asteroidnya menghantam lokasi yang tepat.
Ia mencontohkan kalau asteroid-asteroid lain yang berukuran raksasa juga pernah jatuh di Teluk Chesapeake (sekarang terletak di Amerika Serikat) dan Bavaria barat (Jerman). Namun berdasarkan hasil investigasi fosil pada masa itu, hantamannya tidak hingga menjadikan efek kepunahan massal. Hal yang terjadi sebab lokasi jatuhnya asteroid tidak mengandung batuan-batuan yang gampang meledak.
“Hanya ada sedikit daerah di planet ini di mana anda sanggup menjatuhkan asteroid sebesar 12 kilometer dan mendapat efek perubahan atmosfer yang serupa,” kata Gulick. Ia kemudian menambahkan bahwa dengan memahami konsep ini dan membuat perhitungannya, insan sanggup memperkirakan dampak yang mungkin timbul pada iklim bila perkara serupa kembali terjadi masa kini.
Hasil penelitian yang dibentuk oleh Kaiho dan rekannya pertama kali dirilis ke publik pada tanggal 9 November 2017. Jika anda tertarik, anda sanggup membaca hasil penelitiannya di situs jurnal Nature.
referensi
https://www.nature.com/articles/s41598-017-14199-x
https://news.nationalgeographic.com/2017/11/dinosaurs-extinction-asteroid-chicxulub-soot-earth-science/