Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hanindyo, Astronom Indonesia Yang Meneliti Di Chili

Beberapa tahun belakangan, dunia astronomi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Kesimpulan ini dadc ambil dari ramainya grup-grup astronomi di Facebook serta bermunculannya komunitas astronomi regional yang cukup aktif berkegiatan. Nah, salah satu pertanyaan yang cukup sering muncul yaitu wacana bagaimana menjadi seorang astronom dan pekerjaan ibarat apa yang mereka lakukan. Untuk menjawabnya, dadc telah melaksanakan wawancara melalui email kepada salah satu astronom Indonesia yang ketika ini sedang melaksanakan penelitian di Chili, Amerika Selatan. Beliau yaitu Hanindyo Kuncarayakti, 31 tahun, laki-laki kelahiran Surabaya yang sedang bekerja sebagai peneliti post-doctoral di Universitas Chili, Santiago, memakai akomodasi aneka macam institusi, di antaranya ESO (European Southern Observatory).


Hanin, begitu ia biasa dipanggil, menempuh pendidikan Sarjana (lulus tahun 2005) dan Magister (lulus tahun 2008) di Program Studi Astronomi, FMIPA, ITB. Dalam kiprah tamat sarjananya Hanin mempelajari gugus bintang, yaitu sekelompok bintang yang lahir dari awan bintang (nebula) yang sama dengan usia yang hampir sama. Jumlah anggota sebuah gugus bintang bervariasi, ada yang ratusan bintang (pada gugus terbuka) dan ada yang hingga jutaan bintang (pada gugus bola). Ia tertarik pada gugus bintang dengan alasan “Gugus-gugus bintang ini sangat bermanfaat, sanggup dipakai untuk memilih banyak parameter fisis ibarat usia, kelimpahan logam, serta jarak dan pemerahan, dibanding dengan kalau meneliti bintangnya satu persatu,” terangnya. Sedangkan ketika magisternya Hanin juga meneliti gugus bintang namun dengan metode yang agak berbeda alasannya yaitu memakai data dari instrumen gres yang dikembangkan di Universitas Tokyo. Setelah itu Hanin melanjutkan ke pendidikan doktoral di Department of Astronomy, Graduate School of Science, University of Tokyo hingga selesai tahun 2013. “Tentu saja dengan akomodasi beasiswa. Sepertinya ketika ini mencari beasiswa sudah semakin gampang alasannya yaitu informasinya banyak tersedia di dunia internet,” tulisnya menunjukkan tips bagaimana melanjutkan studi di luar negeri.



Hanin di depan teleskop Hawaii
Hanin di depan teleskop Gemini & CFHT di Mauna Kea, Hawaii (Sumber: dokumen pribadi)
Topik penelitiannya di Jepang berganti menjadi supernova, walaupun masih berkaitan dengan gugus bintang juga alasannya yaitu yang diteliti yaitu populasi bintang di lokasi ledakan supernova. Supernova yaitu insiden ledakan bintang di tamat hidupnya. Ledakan ini disebut supernova alasannya yaitu awalnya di lokasi tersebut tidak terlihat bintang terang sehingga dianggap bintang gres (nova berarti baru). Sifat ledakannya yang khas menyebabkan supernova objek penelitian yang cukup penting alasannya yaitu objek ini sangat terang, hingga sanggup mengalahkan kecerlangan seluruh bab galaksi tempat ia berada. Karena itu pula kita sanggup mendeteksi supernova dengan gampang di sebuah galaksi yang letaknya sangat jauh. Salah satu hal penting lainnya yaitu kita sanggup memilih jarak dari beberapa jenis supernova dengan gampang dan akurat pula. Artinya jarak galaksi tempatnya bernaung juga sanggup kita tentukan, sehingga supernova ini dianggap sebagai salah satu lilin penanda jarak yang cukup penting.

Namun kemunculan sebuah supernova tidaklah sanggup diprediksi alias terjadi secara tiba-tiba. Setelah kecerlangannya meningkat secara singkat, supernova akan berangsur-angsur meredup hingga akibatnya menghilang dalam hitungan bulan atau minggu, sehingga rentang waktu pengamatannya tidaklah lebar. “Tantangannya yaitu bagaimana mengamatinya selama masih terlihat, jadi harus ‘real-time’. Saya tertarik dengan bagaimana memilih bintang apa yang meledak menjadi supernova. Tetapi lebih mengarah ke metode ‘forensik’, yaitu tidak real-time ketika supernovanya masih sanggup diamati melainkan sesudah supernovanya menghilang. Jadi, singkatnya saya melaksanakan investigasi kembali ke TKP untuk melihat bintang mana tadi yang meledak,” terperinci Hanin kepada dadc wacana penelitiannya dalam kegiatan postdoc kini ini. Pria beranak satu ini menambahkan “Saya mengamati kembali lokasi ledakan supernova sesudah menghilang. Dengan mempelajari bintang-bintang di lokasi tersebut (analogi dengan gugus bintang), kita sanggup memperkirakan usia dan kelimpahan logam dari bintang yang meledak. Dengan demikian, massa awal dari bintang tersebut sanggup ditentukan dan sanggup dibuat distribusi massa awal yang kemudian dibandingkan dengan jenis supernovanya. Singkatnya, memilih bintang ibarat apa yang menjadi supernova jenis apa.”



Hanin di ruang kontrol teleskop Chili
Hanin ketika meneliti supernova di ruang kendali teleskop Magellan, Observatorium Las Campanas, Chili, tahun 2014. (Sumber: dokumen pribadi)
Selain penelitian yang sedang dilakukan sekarang, Hanin juga sempat terlibat dalam penelitian di bidang lain ibarat wacana struktur galaksi, bintang ganda, bintang variabel, dan instrumentasi. Sebagian di antaranya ada yang dimuat di jurnal atau prosiding. Daftar publikasinya sanggup dicari di sini. Sedangkan instrumen/teleskop yang pernah digunakannya untuk meneliti antara lain:
VLT – http://www.eso.org/public/teles-instr/vlt/
Gemini – http://www.gemini.edu/sciops/telescopes-and-sites
Magellan – http://www.lco.cl/telescopes-information/magellan/
U.Hawaii – http://www.ifa.hawaii.edu/88inch/
SOAR – http://www.ctio.noao.edu/soar/

Dalam penelitiannya, Hanin mencari data sendiri melalui pengamatan dengan teleskop-teleskop besar. “Sebenarnya lebih seru pake teleskop kecil (sambil tertawa), seru ketika mencari-cari objeknya. Kalau pakai teleskop besar ibarat ini kita hanya perlu memasukkan koordinat dan teleskop otomatis mengarah ke objek tersebut. Dalam memakai teleskop besar memang kita harus seefektif mungkin supaya ‘loss time’ ketika mencari objek tidak terlalu banyak. Hasilnya berupa foto, entah itu foto objeknya pribadi atau spektrumnya, tergantung analisisnya ingin yang ibarat apa,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Misalnya ketika memakai teleskop ESO. Pada dasarnya, sifat teleskop ini sama ibarat teleskop lain di Chili, yaitu astronom yang berbasis di Chili sanggup jatah 10% ‘telescope time’. Siapapun sanggup memakai teleskop manapun milik siapapun, tentu saja melalui seleksi usulan terlebih dahulu. Sedangkan pengolahan datanya cukup dilakukan dengan komputer biasa saja, bukan supercomputer. Namun beda lagi dengan instrumennya, alasannya yaitu ada yang memerlukan spesifikasi komputer yang cukup tinggi dengan hard disk sekian tera, RAM puluhan, dan CPU multi-core, namun tidak hingga disebut supercomputer. Untuk yang ini ESO sudah menyediakannya, jadi kami tinggal pakai saja.”

Sebagai peneliti Indonesia, Hanin bercerita bagaimana kesan rekan penelitinya ketika pertama kali tahu negara asalnya. “Salah satu yang menarik yaitu mereka bilang ‘Oh, saya tahu Bali!’ Ya, Bali sepertinya lebih populer daripada Indonesianya sendiri. Selain itu, kebanyakan dari mereka juga bertanya bahasa apa yang kita gunakan, dan terperangah ketika saya jelaskan bahwa kita mempunyai ratusan bahasa kawasan (dari ratusan juta orang di belasan ribu pulau) dan satu bahasa resmi. Rasanya banyak orang di luar negeri yang masih belum familiar dengan Indonesia contohnya wacana geografi/demografinya, budayanya (termasuk makanan), dll.”

Pernah dan sedang meneliti bersama rekan-rekan dari aneka macam negara dan usia, ibarat Chili, Jepang, Spanyol, Inggris, Kolombia, Jerman, Amerika Serikat, Prancis, Argentina, tentu saja Hanin harus memakai bahasa absurd untuk berkomunikasi (Inggris, terkadang Jepang). Pria yang fasih bahasa Inggris dan sedang mempelajari bahasa Jepang serta Spanyol ini menulis, “Kita tidak sanggup memakai bahasa ibu. Kaprikornus kadang kala kata-kata yang ingin diucapkan tidak keluar atau lupa. Belum lagi soal struktur/grammar yang sering kacau balau alasannya yaitu bahasa kita tidak berubah2 berdasarkan past tense, single/plural, dan sebagainya, hehehe… .” Rekan-rekannya tersebut banyak yang masih seumuran dengannya, walaupun ada juga yang sudah senior. Namun kebanyakan yang seniornya juga hanya sekitar 10-20 tahun lebih tua.

Berada di perantauan yang jauh dari negara sendiri, Hanin menyampaikan rindu keluarga dan kuliner di Indonesia itu sudah pasti. “Tapi jaman kini teknologi sudah canggih, kita sanggup berkomunikasi setiap ketika dan berpindah tempat dalam hitungan hari bahkan jam, tidak harus naik kapal dulu selama berbulan-bulan ibarat di jaman puluhan tahun kemudian misalnya. Saya juga terakhir kali pulang ke Indonesia gres saja, awal 2015 lalu.”

Hanin yang kadang kala masih mengikuti gosip wacana astronomi di indonesia melalui gosip dan web di internet memberi beberapa masukan supaya astronomi kita sanggup berkembang. “Saya rasa penting sekali mengaktifkan pusat-pusat kegiatan astronomi di aneka macam kota dan daerah. Mungkin paling baik kalau dalam bentuk pendidikan formal alasannya yaitu selama ini yang ada hanya di ITB. Tetapi tentu sanggup juga dimulai dari skala yang lebih kecil ibarat klub amatir atau ekstrakurikuler. Untuk hal ini mungkin sekedar kegiatan hobi saja tidak cukup, tetapi harus dilandasi dengan basis ilmiah (astrofisika) juga. Hal lain yang cukup penting yaitu kegiatan meneliti yang sebaiknya berujung pada keluaran yang jelas, contohnya publikasi. Kegiatan ini sanggup dilakukan oleh siapa saja, tidak harus profesional atau dalam lingkup pendidikan formal (untuk yang profesional, tentu saja penelitian yaitu sebuah kewajiban), tetapi juga di lingkup amatir ibarat komunitas regional dan ekstrakurikuler di sekolah. Sekarang juga sudah banyak yang menyediakan data secara online, jadi penelitiannya tidak harus selalu memakai data yang diambil sendiri. Jika ingin mengambil data sendiri pun, sanggup dilakukan dengan peralatan yang tersedia dan saya duga ketika ini sudah ada beberapa tempat dengan akomodasi ibarat teleskop/kamera yang terbuka untuk dipakai dari jarak jauh.”

Pendidikan formal astronomi di Indonesia ketika ini memang hanya ada satu, di Program Studi Astronomi ITB. Namun kini ada juga beberapa jurusan yang menunjukkan mata kuliah astronomi sebagai pilihan untuk mahasiswanya. Misalnya di Jurusan Fisika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ada beberapa mata kuliah astronomi (http://fisika.uin-suka.ac.id/index.php/page/kurikulum). Sementara itu di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta sudah ada Pusat Studi Astronomi (Pastron) (http://pastron.uad.ac.id/), sedangkan di UIN Walisongo Semarang ada kegiatan studi Ilmu Falak (http://fs.walisongo.ac.id/?page_id=30). Komunitas astronomi regional juga sudah banyak yang aktif berkegiatan, contohnya di HAAJ di Jakarta, SAC di Surabaya, HAAS di Semarang, JAC di Yogyakarta, Kompas Kukar di Tenggarong, dll.

Di tamat wawancara, dadc menanyakan apa pesan Hanin untuk para calon astronom/peneliti Indonesia. Ia menjawab, “Meneliti sesuatu itu idealnya dilakukan dengan bahagia dan asyik, alasannya yaitu bersumber dari rasa keingintahuan dan penasaran. Jadi, saya sangat menganjurkan rekan-rekan muda (tidak hanya calon peneliti) untuk mendalami hal apapun yang menarik baginya. Penelitian sebagai suatu profesi agak sedikit berbeda, alasannya yaitu ada banyak hal yang harus dipertimbangkan antara lain publikasi, fasilitas, jangka waktu, kolaborasi, ekonomi, lokasi, dll. Walaupun tetap mengandung unsur asyiknya, jadi sebaiknya dipikirkan baik-baik dan mempertimbangkan faktor-faktor yang ada sebelum mengambil keputusan untuk meneliti sebagai profesi. Tapi tentu saya juga sangat mendorong rekan-rekan untuk berani bercita-cita menjadi peneliti.”

Semoga pesan Hanin tadi sanggup memacu adik-adik yang sedang merintis jalan sebagai astronom/peneliti untuk tidak ragu dalam menggapai cita-cita. Tak lupa dadc juga mendoakan Hanin supaya penelitiannya berjalan lancar dan terus berkontribusi dalam astronomi dunia dan tentunya Indonesia.