Yang Fana Yaitu Waktu Karya Sapardi Djoko Damono
Hujan Bulan Juni, dan masih ada jarak Kyoto dan Solo/Jakarta terlepas setelah Pingkan Melipat Jarak sebelumnya. Sarwono yang sedang menjalani masa penyembuhan kembali saling bersurel dengan Pingkan yang melanjutkan studinya di Jepang, yang otomatis menjinjing Katsuo kembali di antara mereka.
Cinta dua sejoli itu tak terusik sama sekali, terlepas dari apa yang sudah terjadi, namun jarak dan waktulah yang bermasalah. Sementara itu, pasangan Bapak dan Ibu Hadi beserta yang senantiasa mereka sebut kandidat besan Ibu terlihat masih berkasak-kusuk wacana kekerabatan kedua anak mereka.
Hubungan antara Pingkan dan Katsuo kian aneh ketika lelaki Jepang itu menyeret Pingkan ke Okinawa, kampung halamannya, untuk menemui Noriko, gadis yatim piatu yang dijodohkan ibu Katsuo untuk anaknya.
Katsuo ingin meyakinkan gadis itu, bahwa tak ada kekerabatan Istimewa antara dirinya dengan Pingkan. Hal yang sepertinya agak diada-adakan, karena, pasti saja, Katsuo sejak mula tidak menganggapnya demikian.
Tak disangka, perkenalan kedua wanita dalam hidup Katsuo menjinjing arah gres dalam kehidupan dan jalinan kekerabatan mereka.
Sebermula yakni seutas benang seutas saja yang ujung dan pangkalnya terperinci yang kelokan-kelokannya terperinci yang warna putihnya terperinci yang tegang lenturnya terperinci yang terhubung dengan sosok yang terperinci yang kemudian ya ya yang kemudian ya ya yang kemudian entah kenapa ketika ditarik mudah-mudahan ujung-ujungnya bersatu malah memanjang dan kian panjang dan jadi elastis dan entah kenapa tersangkut…. (hal.111)
Di buku ketiga ini, ikatan Sarwono dan Pingkan kian diperjelas lewat kisah orang-orang di sekeliling mereka. Dua sejoli ini kian rapat, terlepas dari angin yang menerpa mereka, yang menjinjing masa kemudian lewat kisah-kisah mereka.
Salah satunya yakni wacana keasingan, atau identitas selaku liyan, yang pada zaman terbaru ini tak dapat lagi dihindari. Perkawinan antar suku, bahkan antar negara sudah menjadi hal biasa, sehingga moral yang antik mesti terkalahkan oleh cinta yang menggebu, di mana pun itu.
Hadirnya Noriko di tengah-tengah mereka memperjelas bahwa keasingan dapat dilawan dengan cinta, alasannya yakni cinta memicu kerja keras untuk mendekatkan, untuk melipat jarak.
Ping, kita ini ternyata sekadar tokoh kisah yang mengikuti pakem purba seumpama yang berlaku dalam segala macam kisah dan tontonan Jawa. (hal.86)
Mereka sepenuhnya percaya bahwa kisah diciptakan selaku balasan untuk pertanyaan yang tak akan ada habisnya…. (hal.139)
Membaca buku ketiga dalam trilogi ini pada waktu yang cukup jauh dari buku sebelumnya relatif sulit, alasannya yakni ada beberapa rincian yang berhubungan. Meski tidak utama, rasanya membaca ketiga buku ini kembali dalam waktu yang berturutan akan memberi sensasi yang berbeda. Terutama tarik-ulur kekerabatan Pingkan dengan Sarwono yang (mungkin) akan meraih titik final di sini.
Sebagaimana kedua novel sebelumnya, dalam buku ini, penulis masih berakrobat dengan memperlihatkan narasi, epistolary, dan stream of consciousness secara bergantian. Ada satu titik saya merasa trilogi ini gotong royong tidak perlu menjadi trilogi, namun menjelang final saya memahami, bahwa sejak awal, buku ini bukan sekadar ingin menyodorkan kisahnya, ada hal yang lebih dalam di balik itu.
Terlebih dengan adanya aneka macam gurauan dan sindiran sosial dan filosofis, yang terselip dalam percakapan Pingkan dengan Sarwono, membuat lingkup kisah ini meluas, sehingga menjadi terhubung dengan kehidupan kita ketika ini.
Secara keseluruhan, membaca buku ini seumpama membaca puisi, yang perlu kita reguk saripatinya dan mengabaikan beberapa kalimat yang terlihat tak berarti, namun berarti, namun susah diketahui seutuhnya.
Apakah saya boleh tidak paham, Ping?
Boleh, Sar, toh paham atau tidak paham tidak ada bedanya. (hal.140)
Ada satu hal yang mengganjal dalam buku ini, disebutkan ketika Pingkan yang masih Sekolah Menengah Pertama ditegur kakaknya mudah-mudahan berkirim WA atau surel saja dengan Sarwono, sedangkan ketika ini dia sudah menjadi dosen, twitter masih memuat cuma 140 karakter.
Lubang waktu itu tak terlalu penting kalau dilihat dalam lingkup Yang Fana Adalah Waktu ini, namun cukup mengganggu. Di luar itu, penulis—yang dapat dibilang berasal dari generasi lampau berupaya betul-betul untuk memasukkan komponen kontemporer dalam novelnya, bahkan jauh lebih tega dan lebih berani dibandingkan dengan penulis yang lebih muda dalam genre yang serupa. Saya rasa hal ini mengukuhkan perilaku ia kepada komponen kebaruan dalam karya sastra.
Kisah ini pun alhasil ditutup dengan bagus dan apik, semanis gula-gula yang mewujud lapisan-lapisan awan. 4/5 bintang untuk babak penentu pertunjukan karya sastra ala Pak Sapardi.
Katamu ingatan itu fosil, gak dapat diapa-apakan. Tapi yang ini bisa. (hal.95)