Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aku Lupa Bahwa Saya Wanita Ihsan Abdul Quddus

Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan Ihsan Abdul Quddus

Hasil gambar untuk saya lupa bahwa saya perempuan Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan  Ihsan Abdul Quddus



Sinopsis Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan Ihsan Abdul Quddus

Kisah ihwal perempuan yang sudah menggapai ambisinya. Sebagai politisi sukses, perannya di DPR dan pelbagai organisasi pergerakan perempuan menempatkan dirinya dalam lingkar elit kekuasaan. Latar belakang politik yang masih konservatif kala itu membuatnya fenomena gres dlam warta kesadaran jender.

Tetapi, kehampaan menyelimuti kehidupan kepribadiannya dan nyaris menghasilkan jiwanya tercabut. Masalah demi perkara mendera, bahkan anak semata wayangnya yang dianggap selaku harta paling bermanfaat justru lebih bersahabat dengan sang ibu tiri. Hinga sebuah kala, ia menentukan lari dari kehidupan pribadinya, bahkan berupaya lari dari watak perempuannya. Pada usia lima puluh lima tahun, ia membunuh kebahagiannya selaku perempuan. Ia menjalankan apa saja untuk melalaikan bahwa ia yakni perempuan.

Inilah novel hebat ihwal pergumulan karier, ambisi dan cinta. Kaya muatan filsafat tetapi dibungkus dalam bahasa sederhana dan mengesankan. Tuntutan kesetaraan jender yang dirajut dalam kisah kontradiksi batin seorang perempuan memicu novel ini bukan sekadar bacaan yang memberi ide tetapi sekaligus pola bagi usaha perempuan melawan dominasi.

Suad yakni anak terakhir dari keluarga yang dimana perempuan mesti menjadi sesosok ibu rumah tangga yang sempurna. Sejak muda pun ia bertekad mengakhiri pendidikan dan menatap kiprah selaku ibu rumah tangga yang cuma sebatas mengorganisir rumah, anak dan suami yakni pencapaian rendah. Kariernya selaku dosen dan pemimpin organisasi perempuan menghasilkan wawasannya kian luas dan menjadi. Karier cemerlang, tetapi ia tidak ada anggapan untuk menikah. Karena baginya janji nikah itu cuma dilaksanakan ketika waktu luang dan ia tetap mesti berkonsentrasi pada kariernya. Kemudian tiba Abdul Hamid dengan sifat tenangnya dalam mengatakan sehingga meluluhkan Abdul Hamid. Waktu luang yang disebut Suad itu direncanakan pada Senin dan Kamis. Pernikahan saja dijadwalkan, janji nikah seumpama inilah yang dimau Suad. Meski di rumahnya ia tidak bisa (tidak mau) memisahkan kehidupan dari kariernya sejenak. Lahirlah anak pertamanya. Namun Suad tetaplah Suad. Anaknya dititipnya di rumah Ibunya. Hingga pernikahannya kandas alasannya yakni waktu Suad cuma untuk kariernya. Abdul Hamid dengan rendah hati menceraikan Suad.

Dalam kekosongan masa jandanya, ia merindukan pelukan laki-laki dan menghendaki keinginan belaian. Adil, berhasil bergaul dengan Suad. Suad pun terbuai. Hingga risikonya ia sadar hal yang dilakukannya ndeso dan salah. Ajakan Adil menikahi Suad ditolaknya, alasannya yakni baginya janji nikah yakni waktu luang dan ia tak mempunyai waktu luang. Menjelang lima tahun, ia tetap konsentrasi dengan karier. Kemudian merasa hampa kembali, menikah dengan seorang dokter berjulukan Kamal. Kamal sama seumpama Suad yang cuma menilai janji nikah yakni waktu luang. Mereka sama-sama sibuk. Bedanya Kamal dengan Abdul Hamid yakni ia cuma tidak mau berada di belakang istrinya. Ia senantiasa ingin terlihat satu langkah lebih maju dari istrinya. Ia ingin istrinya menanti keputusannya dalam menjalankan tindakan. Namun, Suad mana dapat diseperti itukan. Faizah, anak dari relevansinya dengan Abdul Hamid pun tidak begitu dekat dengan Kamal alasannya yakni kegilaannya pada pekerjaan. Faizah lebih menentukan tinggal dan dekat dengan istri kedua Abdul Hamid yang mengerti soal anak dan rumah tangga lebih baik dari Suad. Heran sih, Suad membiasakan Faizah memanggilnya Suad dan dianggap kaka. Ia tidak besar hati menjadi Ibu dan melahirkan anak. Ia berpikir itu cuma memperhambat kariernya. Ia berbarengan sadar akan posisinya selaku Ibu, tetapi perilaku ambisius dan sombong atas fitrah yang diberikan Tuhan, ia menyingkirkan fitrah tersebut.

“Panggilan Ibu mengirimkan ibu dan anaknya pada derajat korelasi cinta, keterikatan serta saling mengetahui satu sama lain. Sebuah korelasi yang tidak bisa diciptakan melainkan anugera Tuhan. Hubungan itulah yang membentangkan sayap kasih sayang dan pertolongan ibu atas anaknya.”
Seorang feminis terlewat batas Suad memberlakukan rancangan kerja politiknya ke dalam asuhan Faizah. Ia selaku pimpinan tertinggi, Ibunya selaku penanggungjawab, dan Faizah selaku rakyat untuk menampilkan laporan dan membahas banyak hal. Bagi saya, mana dapat seorang pimpinan tertinggi menampilkan waktu untuk menyaksikan eksklusif proses kerja rakyatnya melainkan lewat perantara. Sehingga tidak terjadi keterikatan emosi.

Kedekatannya dengan Faizah tidak tercapai, perceraiannya dengan Kamal terjadi. Ia tetap sibuk dengan dunia politiknya, berharap Adil akan melamarnya lagi di usia yang cukup bau tanah alasannya yakni kebutuhannya akan pendamping menemani masa lelahnya, tetapi Adil tidak menginginkannya lagi. Suad terus sibuk dengan karier dan berupaya melalaikan bahwa ia perempuan.

“Aku tidak menghendaki lebih dari semua itu. Aku sudah sudah biasa untuk lupa bahwa saya perempuan…”
Memang dalam korelasi kita mesti menghargai kegiatan pasangan masing-masing. Namun, jikalau cinta direncanakan seumpama sesuatu yang biasa dalam hidup, cinta itu tetap tetapi dingin. Cinta butuh dirawat dan dikembangkan: inilah yang Suad tidak bisa ciptakan alasannya yakni rancangan kesetaraan jendernya terlampau batas.

Sebenarnya satu segi saya baiklah dengan adanya feminisme. Tapi ini yang akan digambarkan oleh Ihsan bahwa feminisme itu kesetaraan bukan mendominasi.

Penceritaannya dibawakan oleh sudut pandang orang pertama yakni Suad sendiri, dengan gaya bahasa sombong merendahkan kiprah lembut perempuan dan mendobrak konstruksi dalam penduduk soal perempuan. Menurut saya, kisah mulai titik puncak ketika Suad dan Ahmad jarang berkomunikasi secara intim. Suad ini keras kepala, memang manis sih kalau menjadi sosok yang keras kepala dalam menggapai impian, namun mesti diimbangi dengan perilaku bijaksana. Ada satu hal yang berbarengan banyak hal menawan yang sudah saya ceritakan di atas, ihwal menghargai dan memberi ruang terhadap masing-masing pasangan, ya sebaiknya begitu. Tapi jangan hingga perilaku menghargai dan memberi ruang tersebut mendinginkan cinta masing-masing: ragu mengajukan pertanyaan ketika waktu luang, takut mengusik dia, yang lama-lama komunikasi pun jadi tidak berlangsung baik.