Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Unik Bukan Hanya Dapat Dimakan, Ikan Nila Juga Efektif Obati Luka Bakar

Nila atau tilapia pastinya bukanlah ikan yang aneh bagi anda semua. Pasalnya ikan ini sangat sering disajikan di rumah-rumah makan yang menyediakan sajian ikan. Bukan tanpa alasan nila menjadi salah satu primadona di rumah makan. Metode pemeliharaannya yang gampang dan rasa dagingnya yang yummy menimbulkan ikan ini tidak pernah sepi akan peminat.

 Nila atau tilapia pastinya bukanlah ikan yang aneh bagi anda semua Unik Bukan Hanya Bisa Dimakan, Ikan Nila Juga Efektif Obati Luka Bakar

Namun kegunaan nila ternyata masih belum hingga di sana. Di Brazil, kulit ikan ini mulai diusahakan sebagai metode pengobatan alternatif. Tepatnya untuk mengobati penderita luka bakar dengan kondisi yang parah.

Pemandangan itulah yang terlihat di kota Fortazela, Brazil timur laut. Sejumlah pasien luka bakar terlihat dibalut dengan kulit ikan nila yang sudah disterilkan. Menurut dokter, pasien-pasien tersebut yaitu penderita luka bakar tingkat dua dan tiga.

Penggunaan kulit nila sebagai perban untuk luka bakar sendiri berawal dari keterpaksaan. Di negara-negara berkembang, kulit binatang semisal babi sudah usang dipakai sebagai metode pengobatan alternatif untuk luka bakar. Namun di Brazil, pengobatan luka bakar terkendala oleh terbatasnya pasokan kulit babi, kulit manusia, serta kulit artifisial.

Ada tiga bank kulit di Brazil yang bertugas memasok kulit untuk pasien luka bakar. Namun berdasarkan pakar luka bakar Edmar Maciel, bank-bank tadi hanya sanggup memenuhi 1 persen dari kebutuhan nasional. Sebagai akibatnya, pasien luka bakar di Brazil hanya sanggup ditangani dengan kain kasa dan krim sulvadizine perak.

“Itu yaitu krim untuk luka bakar alasannya yaitu ada perak di dalamnya. Kaprikornus krimnya mencegah timbulnya benjol pada luka bakar,” kata Jeanne Lee dari Universitas California di San Diego. “Tapi krimnya tidak membantu menghilangkan kulit mati ataupun membantunya sembuh.”

Kekurangan dari metode pengobatan menggunakan kain dan krim belum hingga di sana. Setiap hari, kain dan krim pada pasien harus diganti. Suatu proses yang sungguh menyiksa dan menyakitkan bagi pasien yang bersangkutan. Di Institut Jose Frota yang berlokasi di Fortazela, luka bakar para pasien terlihat berubah bentuk ketika perbannya diambil dan dibasuh.


Hal itulah yang coba diubah dengan penggunaan kulit ikan nila. Seperti halnya di Indonesia, ikan nila juga banyak diternakkan di Brazil. Selama ini kulit mereka dianggap tidak mempunyai kegunaan dan dibuang begitu saja usai dipanen. Namun temuan gres ini diharapkan sanggup mengubah kebiasaan tersebut.

“Kami merasa sangat terkejut ketika kami menemukan kalau jumlah protein kolagen tipe 1 dan 3, yang sangat penting untuk mengobati luka, ditemukan dalam jumlah besar di kulit ikan nila. Bahkan lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan di kulit insan dan binatang lain,” kata Maciel.

“Faktor lain yang kami temukan yaitu tingkat ketahanan pada kulit ikan nila jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kulit manusia. Demikian juga dengan tingkat kelembabannya,” tambah Maciel lagi.

Pada pasien dengan luka bakar tingkat dua, doktor merekatkan kulit ikan nila pada luka pasien dan meninggalkannya agar luka tersebut membaik. Kulit ikan nila memang masih harus diganti beberapa kali selama beberapa minggu. Namun intensitas penggantiannya jauh lebih jarang kalau dibandingkan dengan terapi menggunakan kain dan krim.

Antonio dos Santos yaitu satu dari sekian banyak orang yang sudah mencicipi sendiri efektifitas dari kulit ikan nila sebagai obat luka bakar. Pria yang berprofesi sebagai nelayan tersebut pada awalnya menderita luka bakar parah di sekujur lengan kanannya sesudah tabung gas di kapalnya meledak.



Dos Santos kemudian ditawari terapi kulit ikan nila oleh pihak institut untuk mengobati lukar bakarnya. Kendati metode tersebut merupakan metode yang masih asing, dos Santos oke untuk mendapatkan terapi ini.

“Setelah mereka memasang kulit ikan nila, rasa sakitnya eksklusif hilang,” kata dos Santos. “Saya merasa yaitu hal yang sangat menarik untuk mengetahui kalau metode macam ini ternyata sanggup bekerja.”

Kulit-kulit yang hendak dipakai sebagai obat luka pada insan sendiri tidak diambil begitu saja dari ikan nila. Awalnya kulit ikan nila yang gres diambil akan dikirim terlebih dahulu ke laboratorium Universitas Federal di Ceara. Kulit nila tersebut kemudian menjalani proses sterilisasi oleh pegawai lab.

Sesudah melalui sterilisasi, kulit ikan nila dikirimkan ke Sao Paulo untuk diberikan radiasi agar kulit tadi benar-benar bebas dari virus. Kuli nila tadi selanjutnya dikemas dan disimpan dalam lemari pendingin. Dengan metode ini, kulit nila sanggup tetap abadi hingga dua tahun.

Efektivitas kulit ikan nila untuk mengobati luka bakar ternyata bukan hanya berlaku pada manusia. Di Kalifornia, AS, tim dokter binatang setempat memanfaaatkan kulit ikan nila untuk mengobati luka bakar pada beruang dan macan cougar yang menjadi korban kebakaran hutan pada bulan Januari 2018 silam.

Kulit ikan nila dipilih alasannya yaitu metode tersebut dianggap sebagai metode paling kondusif untuk mengobati luka bakar pada hewan. Jika yang dipakai yaitu kain perban biasa, maka ada resiko kalau kain tersebut akan digigiti oleh hewan-hewan tadi. Dan kalau perbannya tertelan, mereka berpeluang mengalami gangguan pencernaan.

Namun upaya untuk menggunakan perban kulit nila sendiri tidak semudah kelihatannya. Awalnya, Jamie Peyton dan rekannya awalnya ingin mengimpor perban kulit nila dari Brazil alasannya yaitu kulit nila tersebut sudah diolah secara khusus untuk keperluan pengobatan. Namun hal tersebut tidak sanggup dilakukan alasannya yaitu adanya larangan mengirimkan perban kulit nila ke luar Brazil.

Tak mau mengalah pada rintangan tersebut, Peyton dan suaminya kemudian mengunjungi pasar ikan setempat. Mereka membeli ikan nila yang masih hidup dan kemudian mengolahnya agar kulitnya sanggup diambil. Kulit nila tadi kemudian melalui proses sterilisasi selama beberapa hari dengan menggunakan suhu dingin.

Peyton kemudian mengunjungi hewan-hewan korban kebakaran sambil membawa kulit nila hasil olahan. Sesudah membius beruang dan cougar, Peyton dan rekannya mulai menempelkan kulit nila pada luka hewan-hewan malang tadi. Jumlah kulit nila yang mereka butuhkan bervariasi. Namun pada umumnya, satu cakar beruang memerlukan satu atau dua kulit nila sebagai perbannya.

Perban kulit nila ini berfungsi selama sekitar 10 hari sebelum kemudian menjelma kasar. Sebagai penambal luka, perban kulit nila ini bekerjsama masih berfungsi. Namun alasannya yaitu perban kulit ini tidak lagi mempunyai kolagen yang dibutuhkan untuk membantu penyembuhan luka dan regenerasi, tim dokter binatang tetap harus melaksanakan penggantian.

Seperti halnya penggunaan perban kulit ikan pada manusia, metode ini juga memperlihatkan gejala positif pada binatang yang diobati. Beruang yang mengalami luka bakar sudah berada dalam kondisi sembuh 90 persen dan dilepas kembali ke alam liar dengan pemancar radio di lehernya. Tujuannya untuk memonitor kondisi beruang tersebut sesudah menjalani perawatan. Tanda-tanda kesembuhan serupa juga ditunjukkan oleh cougar.

“Saya rasa alam liar memperlihatkan kami tantangan yang berbeda,” kata Peyton kepada National Geographic. “Sekarang, hewan-hewan ini memperlihatkan pencerahan kepada kami mengenai bagaimana sebaiknya menangani luka bakar pada binatang di masa depan”.

referensi
https://www.pbs.org/newshour/health/brazilian-city-uses-tilapia-fish-skin-treat-burn-victims
https://news.nationalgeographic.com/2018/01/california-thomas-fire-bear-cougar-paw-burn-tilapia-fish-skin-bandage-spd/