Filsafat Di Daerah Masyriqi (Dunia Islam Bab Timur)
FILSAFAT DI KAWASAN MASYRIQI (Dunia Islam Bagian Timur)
Filsafat Islam di serpihan timur Dunia Islam (Masyiriqi) berbeda dengan filsafat islam di Maghribi (bagian barat Dunia Islam). Diantara para filosof Islam di kedua daerah tersebut terjadi perselisihan pendapat wacana banyak sekali pokok pengertian. Di Timur terdapat tiga orang filosof tertemuka, Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibn Sina. Di Barat juga terdapat tiga orang filosof kenamaan, Ibn Bajah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd.
Adalah masuk akal jikalau filsafat Islam muncul lebih dulu di Timur sebelum di serpihan Barat. Sebagai akhir adanya peradaban yang berpusat di Syam dan Persia sehabis sebelumnya berpusat di Athena dan Iskandariyah. Setelah Islam datang, orang Arab menguasai daerah Persia, Syam dan Mesir. Kemudian sentra kehalifahan pindah dari Hijzas (Madinah) ke Damaskus (Syam), sebuah kota yang dari segi politik menjadi sentra kekuasaan orang-orang Bani Umayyah. Pada masa itu muncul dua kota besar yang memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran Islam, yaitu Bashrah dan Kufah. Hingga datangnya zaman kekuasaan orang-orang Bani’Abbas, dua kota tersebut tetap memimpin kehidupan kebudayaan di seruluh dunia Islam. Setlah para penguasa daulat ‘Abbasiyah membangun kota Baghdad, sentra kebudayaan Islam pindah dari Kuffah dan Bashrah ke kota yang gres itu. Sejak itu Baghdad menjadi sentra ke khalifahan di samping menjadi sentra acara ilmu, filsafat dan peradaban. Kaum cendikiawan dan para jago fikih dari banyak sekali pelosok dunia banyak yang tertarik ke Baghdad, sehingga kota itu menyerupai dengan Athena pada kala ke-5 sebelum masehi, atau menyerupai dengan Paris dalam kala ke-19 Masehi, yaitu sebagai sentra kebudayaan dunia.
Di dalam suasana kehidupan politik dan pemikiran sedangkan berkembang pesat, muncullah seorang filosof Arab, atau filosof Islam, Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi.
Al-Kindi (185-152 H./801-865 M.)
Nama lengkapnya adalah: Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq bin Ash-Shabah bin ‘Imran bin Isma’il bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qeis Al-Kindi. Dia berasal dari kabilah Kindah, termasuk kabilah terpandang dikalangan masyarakat dan bermukim di daerah Yaman dan Hijaz. Sesepuh Al-Kindi yang paling dini memeluk Islam ialah Al-Asy’ats bin Qies, sesorang yang memimpin perutusan kabilah Kindah menghadap Rasul Allah SAW. Al-Asy’ats termasuk salah seorang sahabat Nabi yang paling pertama tiba ke kota Kuffah. Ia pun termasuk salah satu diantar para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi. Bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash ia terut berkecimprung dalam peperangan melawan Persia Iraq. Dalam perang Shiffin di bawah pimpiinan Ali bin Abi Thalib ia memegang panji kabilah Kindah. Ia turut pula berperang di pihak ‘Ali bin Abi Thalib melawan pemberontakan kaum Khawarij di Nahrawan. Anak lelaki Al-Asy’ats yang berjulukan Muhammad pernah diangkat oleh Ibn Zubair sebagai penguasa daerah Munshil (di Iraq). Pada tahun 85 Hijriyah, anak lelakinya yang lain yaitu ‘Abdurrahman bin Al-Asy’ats melancarkan pemberontakan terhadap Al-Hajjaj bin Yusuf (penguasa Bani Umayyah di hijjaz dan Iraq) hingga terbunuh dalam pertempuran. Sejak itu semua anak keturunan Al-Asy’ats (Bani Al-Asy’ats) tidak mempunyai kedudukan apa-apa di dalam Dinasti Bani Umayyah. Kendatipun begitu keluarga (kabilah) Al-Kindi di kuffah masih tetap dihormati orang. Demikianlah keadaanya hingga munculnya kekuasaan Bani ‘Abbas. Orang-orang bani Kindah kembali menempati kedudukan yang terpandang. Dan Ishaq bin Ash-Shabah menjabat penguasa daerah Kuffah, dari zaman Khalifah Al-Mahdi hingga Khalifah Harun Al-Rasyid. Ia dikaruniai seorang anak lelaki berjulukan Ya’qub, yang pada zaman keemasan Islam populer sebagai filosof, Al-Kindi.
Al-Kindi mem pelajari banyak sekali cabang ilmu keagamaan menyerupai hokum syari’at dan ilmu Kalam. Ia terut menyumbangkan pemikirannya secara efektif dalam memasukan filsafat ke dalam khazanah pengetahuan Islam. Ia menerjemahkan beberapa buku filsafat Suryani yang dikuasainya dengan baik dan memperbaiki penerjemahan buku-buku lain, menyerupai buku Theologia (Ar-Rububiyyah atau ketuhanan) yang diterjemahkan oleh Ibn Na’imah Al-Himshi.
Maka beberapa sejarawan Arab memandang Al-Kindi sebagai salah satu penerjemah, sebagaimana yang dikatakan oleh penulis buku Thabaqqatul-Athiba (Golongan Doker), bahwa: “Para penerjemah yang mahir dalam Islam ada empat orang: Hunain bin Ishaq, Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi, Tsabit bin Qurrah dan ‘Umar bin Al-Farkhan At-Thabari”. Namun, tidak berarti bahwa Al-Kindi hanya jago penerjemahan, lantaran penulis buku tersebut Ibn Juljul menerngkan lebih lanjut: “Ia (Al-Kindi) telah menerjemahkan banyak buku filsafat, menjelaskan banyak sekali macam masalah, menyimpulkan banyak sekali macam problema yang sulit dan mengungkap problema yang sukar dipahami". Ibn Juljul juga mengatakan: “Al-Kindi menguasai ilmu kedokteran, filsafat, ilmu pasti, semantic, pandai mengubah lagu, menguasai ilmu ukur (geometri), aljabar, ilmu falak dan astronomi”. Kenyataan tersebut membuktikan betapa luas pengetahuannya sebelum ia berfilsafat.
Tidaklah mengherankan jikalau Al-Kindi mengusai banyak macam ilmu pengetahuan, lantaran ia tumbuh dan dibesarkan di kufah yang merupakan kota sentra perkembangan ilmu, khususnya ilmu kimia. Kita mengetahui bahwa Al-Kindi menaruh perhatian istimewa terhadap ilm tersebut. Hingga zaman kita kini ini risalah yang ditulisnya wacana kimia’ul-‘ithriy (chemical aromatic) diterbitkan lagi dalam Bahasa Jerman di Leipzing. Setelah pindah dari Kufah ke Baghdad, Al-Kindi berkecimprung secara pribadi dalam dunia pendidikan ilmu dan filsafat hingga berhasil menguasai dengan baik. Hubungannya dengan Khalifah Al-Ma’mun dan Khalifah berikutnya, Al-Mu’tashim memberi dorongan kuat kepadanya. Terutama hubungannya dengan putera Al-Mu’tshim yang berjulukan Ahmad. Ahmad adalha anak didik khusus Al-Kindi. Dan Al-Kindi banyak menghadiahkan risalah yang ditulisnya kepada Ahmad. Sehubungan dengan ini Ibn Nubatah menyampaikan dalam bukunya yang berjudul Syarhul-‘uyun: “Kerajaan Al-Mutashim diperintah oleh Al-Kindi dengan buku-buku yang ditulisnya”. Nama Al-Kindi terus marak hingga zaman Khalifah Al-Mutawakkil. Pada zaman inilah ia menjadi target intrik dan fitnah dari mereka yang iri hati, hingga ia dijatuhi eksekusi oleh Al-Mutawakkil dan perpustakaanya yang populer dengan nama Al-Kindiyyah disita dan kemudian dijadikan milik Al-Mutawakkil. Tidak diragukan lagi perpusatakaannya tentu penuh dengan buku-buku berharga. Demikian terkenalnya sehingga banyak orang yang dengki dengan dirinya.
Al-Jahidz dalam bukunya Al-Bukhala (orang-orang kikir) menyebut Al-Kindi sebagai orang kikir. Al-Jahidz melukiskan kekikirsnnya itu dalam bentuk karikatur yang sangat populer pada masa itu. Kendati demikian kehidupan Al-Kindi tampak mewah. Ia mempunyai koleksi banyak sekali jenis hewan langka dalm taman rumahnya dan dikemukakan Al-Jahiz dalam bukunya Alhayawan (Margasatwa). Namun berdasarkan kenyataanya Al-Kindi memang hidup terpisah dari masyarakat dan memecilkan diri, menekuni pembacaan buku-buku dan menulis karya ilmiah. Mengenai kehidupannya itu ada sekerumit riwayat yang menceritakan sebgai berikut: Ia mempunyai seorang pedagang besar. Pada suatu ketika anaknya itu tersarang penyakit jiwa, dan para dokter tidak sanggup mengobatinya. Meskipun bertetangga dengan Al-Kindi namun tidaklah terjadi korelasi bersahabat sebagaimana halnya tetangga. Ketika si pedangang itu bertnya kepada teman-temannya mencari dokter yang sanggunp mengobati penyakit anaknya, ia menerima jawaban: “Tetangga anda itu seorang filosof dan seorang dokter yang lebih mengerti cara penyembuhan penyakit itu. Kalau anda mau tiba padanya tentu anda akan menerima apa yang anda inginkan”. Akhirnya Al-Kindi mengobati anak tetangganya itu dengan music dan berhasil menyembuhkannya.
Karena Al-Kindi meenguasai banyak sekali jenis ilmu pengetahuan, juga Karen ia seorang Arab yang beragama Islam, dan tidak menyerupai orang lain yang mempunyai pengetahuan dari tejemahan buku-buku yang ditulis oleh para dokter Suryani maka ia berhak disebut “Filosof Arab” atau “Filosof Islam”.
Corak filsafat Al-Kindi tidak banyak kita ketahui lantaran buku-bukunya wacana filsafat banyak yang hilng. Buku gres zaman belakangan orang menemukan kurang lebih 20 risalah Al-Kindi dalam itu verbal tangan. Mereka yang berniat besar menelaah filsafat islam, baik kaum orientalis maupun orang-orang Arab sendiri, telah menerbitkan risalah risalah tersebut. Dengan demikian orang gampang menemukan kejelasan mengenai filsafat Al-Kindi dan kedudukannya.
Al-Kindi telah berjasa dalam usahanya mejadikan filsafat sebagai salah satu khazanah pengatahuan Islam sehabis disesuiakan lebih dulu dengan agama. Dalam risalahnya yang dihadiahkan kepada Ahmad bin Al-Mu’tshim Billah wacana filsafat “Pertama” (Metaphysic) Al-Kindi menyatakan pendapatnya, baik agama maupun filsafat kedua-duanya menghendaki kebenaran. Agama menempuh jalan syari’at, sedangkan filsafat menempuh jalan metoda pembuktian. Filsafat dipandanag sebagai hasil kesanggupan insan (human skill) yang menempati kedudukan tertinggi, mempunyai martabat yang mulia, dan diberi definisi sebagai pengetahuan wacana hakikat sagala sesuatu berdasarkan batas kesanggupan manusia. Filsafat yang mempunyai kedudukan serta martabat yang tertinggi dan termulian ialah filsafat ”Pertama” (filsafat metafisik), yakni pengatahuan wacana “Kebenaran Pertama” Al-Haqqul-Awwal) yang merupakan illah (sebab pokok) bagi semua kebenaran (Al-haqq), demikian Al-Kindi.
Jadi, mengetahui kebanaran ialah tujuan filsafat. Semua filosof Islam pada massa itu menjujung tinggi kebenaran (Al-haqq) dan memandang sebagai susuatu yang tetap dan azali di alam yang lebih tinggi dari tempat kita hidup, yang tunduk kepada hokum perubahan, pengalaman dan ekperimen. Pengertian tersubut merupakan khazanah yang diwarisi kalangan Arab dari para filosof Yunani ialah lawan kebathilan.
Al-Farabi (259-339 H/850-950 M)
Al-farabi merupakan seorang tokoh ilmuan islam yang sangat disegani oleh kenyakan tokoh ilsam mahupun bukan islam yang lain.Hal ini demikian kerana kebijaksanaannya dan sifatnya yang sangat menyayangi ilmu serta banyak menciptakan kajian demi mendapatkan ssuatu ilmu.Al-Farabi menyatakan bahawa falsafah atau ilmu ini yang merupakan asas kepada kesempurnaan dan kebahagiaan yang paling tinggi bagi insan ialah berasal dari kalangan kelompok Chaldeans iaitu penduduk awal Mesopotamia.Ilmu ini kemudiannya tersebar ke Mesir dan dari Mesir terus kepada bangsa Greek kemudiannya terus kepada orang-orang Syriadan kemudiannya kepada bangsa Arab.
Adalah tidak sukar untuk mengandaikan bahawa al-Farabi menganggap falsafah sebagai suatu yang boleh mereput dan pupus. Kerana itulah ia berharap biar sanggup menghidupkan semula ilmu ini dan mengembalikannya ke tempat asal lahirnya ilmu ini. Beliau menganggap falsafah sebagai suatu yang sangat penting untuk kebaikan masyarakat, walaupun sesebuah masyarakat itu ditadbir oleh undang-undang wahyu.
Al-Farabi menyatakan dalam Madinah Fadilah: “Falsafah sepatutnya terasing daripada kerajaan, sungguhpun setiap kelayakan lain untuk memerintah mungkin boleh ditunjukkan, negara yang baik ialah yang kurang bilangan pemimpinnya, pemimpin negara yang bekerjsama bukannya (bersifat seperti) raja yang sebenar dan (jika sebaliknya) negara akan menemui kehancuran; dan jikalau tiada orang yang bijak yang membantu pemimpin negara, maka kemudiannya selepas suatu tempoh masa, negara itu akan musnah.”
Akan tetapi, pembaharuan falsafah dalam masyarakat muslim pada masa itu bukanlah suatu perjuangan yang gampang dan selamat kerana falsafah merupakan ancaman yang serius kepada kepercayaan asas Islam.Para jago falsafah dianggap sebagai kafir dan buku-buku mereka ada yang dibakar dan hidup mereka sentiasa diancam.Kita sedia maklum bahawa al-Farabi sendiri telah mencari proteksi di istana Sayf al-Dawlah, seorang penaung ilmu.Ahli falsafah di Barat (Sepanyol) mendapatkan layanan yang lebih jelek lagi dari mereka yang berada di Timur.Dalam muqaddimah koleksi perbahasan falsafah oleh Ibn Bajjah, Abu Hasan b. Ali b. al-Imam, seorang pengikut Ibn Bajjah menulis bahawa kebanyakan ulama yang mengkaji ilmu-ilmu terdahulu tidak berani untuk menulis idea-idea mereka samada kerana takut kepada ancaman yang akan menimpa mereka atau mereka gagal untuk memahami maksud sebenar ahli-ahli falsafah tersebut.Oleh yang demikian, mereka beralih kepada ilmu-ilmu yang dibenarkan oleh kerajaan.Ibn Tufayl menyalahkan Ibn Bajjah kerana memendekkan subjek falsafah yang dibincangkannya.Kita juga sanggup mengetahui dari Ibn Rushd iaitu ketika Abu Ya’qub telah bertanya kepadanya ‘apakah yang jago falsafah fikirkan mengenai syurga’, maka Ibnu Rushd dengan penuh rasa takut dan ragu-ragu, cuba untuk menyelamatkan diri dan menafikan dirinya ada kaitan dengan falsafah.
Nama sebenar Al-Farabi ialah Abu Nasr Muhammad B Turkhan bin al-Uzalagh al-Farabi.Beliau dikenali dengan nama Alpharabius di Barat.Beliau berketurunan Parsi. Beliau menerima gelaran Al-Farabi kerana kelahirannya di Farab yang juga disebut Kampung Utrar.Daerah ini dahulunya termasuk dalam wilayah Iran namun kini termasuk ke dalam wilayah Republik Uzbekistan yang merupakan daerah Turkestan Rusia.Bapa ia merupakam seorang jeneral yang mempunyai posisi penting di Parsi manakala ibu ia berdarah Turki asli. Berdasarkan catatan dari Awarudin Harahap yang bertahun 1981, Al-Farabi dilahirkan pada tahun 258 H bersamaan 870 M di dalam keluarga yang berada dan dipenuhi dengan kesenangan.Tetapi kehidupan ia tidak dipengaruhi dengan kemewahan, bahkan ia lebih suka memikir masalah metafizik walaupun berada dalam bidang fiqh yang membolehkan ia menjawat jawatan qadhi tetapi bidang itu tudak memberi kepuasan kepada dirinya.
Beliau kesannya mengembara menuju Baghdad dan mempelajari ilmu mantik daripada Abi Basyar Ibn Bata dan kemudiannya daripada Yuhana b Hailan di Haran. Beliau tekun mempelajari falsafah walaupun usianya sudah mencecah 40 tahun. Beliau meminati untuk menyingkap masalah yang kabur dan caranya ialah dengan melaksanakan pengembaraan.Beliau mahir menguasai banyak bahasa di antaranya ialah, bahasa Arab, Turki dan Parsi serta menguasai muzik secara teori dan praktikal.Diriwayatkan ia tidak mengambil berat duduk masalah dunia menyerupai pakaian, tempat tinggal bahkan ia telah meninggalkan jawatan qadhi yang disandang di negerinya.Beliau selalu keluar waktu malam bagi mencari tempat-tempat berpokok dan lembap bagi membaca dan mendengar muzik.
Beliau cuba menyatukan pendapat Aristo dan Plato serta Aristo dan.Galinousdan antara semua mereka dengan aliran islam.Tindakan ia bagaimanapun telah dikritik oleh Hibbatullah Ibn Albarakah Al Baghdadi dengan pinjaman pemikiran Al Ghazali kerana sealiran dengan Aflutin.Al Baghdadi menyifatkan falsafah ia sebagai bertabiat Aflutin tetapi bersifat Aristo.Hal ini disebabkan Al-Farabi bergantung kepada karya-karya yang telah diselewengkan.
Karya al-Farabi kebanyakannya telah hilang dan yang hingga kepada kita hari ini hanyalah beberapa potongan ayat dan ada antaranya bertentangan antara satu sama lain dan memerlukan kepada penyusunan yang baru.Karya ia telah hingga pada angka 117 termasuk buku dan risalah.Ianya mencakupi mantiq, pendidikan, nature, ilmu ketuhanan, akhlak, politik, falsafah, matematik, kejuruteraan, perbahasan dan astronomi.Buku yang paling bermutu ialah ensiklopedia yang berjulukan ‘ihksou al Ulum yang dianggap karya terpenting berbahasa Arab dalam penyusunan ilmu.Di dalamya ia telah menbahagikan ilmu mengikut zaman.
Antara karangan ia di bidang ketuhanan ialah “Al Nafs”, “Al Jauhar” dan “Al Zaman”.Dalam bidang falsafah ia telah mengarang buku “Ma’ani al Aqlu” dan Kitab “Uyunu al Masail".Antara karangan ia di bidang bahasa ialah buku “Kitabu al Huruf” dan “Kitabu al Alfaz”.Al Farabi telah digelar sebagai Failasuf Islam dan guru kedua selepas Aristo kerana kemashurannya di bidang falsafah dan ilmu-ilmu.Ibn Halkhan telah mensifatkan ia sebagai jago falsafah Islam yang teragung.Antara muridnya yang terulung ialah Ibn Sina, Mata b. Yunus dan Abu Zakaria b. ‘Adi Al Takriti.
Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental.Ia meninggalkan risalah penting.Filsafatnya menjadi teladan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan juga Timur.Selama sepeninggalnya, Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam.Pemerintah sentra Abbasiyah di Baghdad sedang berada dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi.Pada ketika itu kemunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan.Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam.Seperti yang dinyatakan ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi tetap memperlihatkan bantuan pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbaharui tata negara.Pembaruan itu menurutnya hanya sanggup berhasil apabila sudah berakar kukuh dalam fondasi filsafat.
Walaupun al-Farabi merupakan jago metafizik Islam yang pertama dan terkemuka namun ia lebih dikenali di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.Para jago setuju memperlihatkan kebanggaan yang tinggi kepadanya, terutama sebagai jago budi yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masa itu.Beliau berguru budi daripada Yuhanna ibn Hailan di Baghdad dan memperbaiki bidang logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan oleh al-Kindi.
Kehidupan al-Farabi terbahagi kepada dua, iaitu pertama bermula dari semenjak lahir hingga usia lima tahun.Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa.Beliau mempelajari fikih, hadis dan tafsir al-Qur’an serta mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.Periode kedua ialah pada usia renta dan kematangan intelektual.Baghdad merupakan tempat berguru yang terkemuka pada kala keempat.Di sana ia bertemu dengan sarjana dari pelbagai bidang, antaranya para filosof dan penerjemah.Beliau tertarik untuk mempelajari logika, dan antara jago budi paling terkemuka ialah Pemikiran Metafisika Abu Bisyr Matta ibn Yunus.Al-farabi telah berguru beberapa usang dengannya.Baghdad merupakan kota yang pertama dikunjunginya.Beliau telah berada selama dua puluh tahun di Baghdad dan kemudiannya berpindah ke Damaskus.Di sini ia berkenalan dengan Gabenor Aleppo, Saifuddaulah al-Hamdani.Gabenor ini sangat terkesan dengan al- Farabi, kemudian diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama istana.
Kota kesayangannya ialah Damaskus.Beliau menghabiskan umurnya bukan di tengah-tengah kota, tetapi di sebuah kebun yang terletak di pinggir kota.Di tempat inilah ia menerima banyak inspirasi menulis buku-buku filsafat.Penyelidikanya wacana filsafat Yunani terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles begitu mendalam sehingga digelari julukan Mu’alim Tsani atau Guru Kedua kerana Guru Pertama diberikan kepada Aristotles, disebabkan perjuangan Aristotles meletakkan dasar ilmu budi yang pertama dalam sejarah dunia.Al-Farabi memperlihatkan kehidupan spiritual dalam usianya yang sangat muda dan mempraktikkan kehidupan sufi.Beliau juga jago muzik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama music yang masih sanggup didengarkan dalam perbendaharaan lagu sufi musik India.20 Orde Maulawiyah dari Anatolia masih terus memainkan komposisinya hingga sekarang.Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bahagian.Buku-buku ini masih berupa naskah dalam bahasa Arab, tetapi sebahagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger.Teorinya wacana harmoni belum dipelajari secara mendalam.Pengetahuan estetika al-Farabi bergandingan dengan kemampuan logikanya.Beliau meniggal pada tahun 950 M pada usia 80 tahun.
Beliau meninggalkan sejumlah besar goresan pena penting.Karya al-Farabi sanggup dibagi menjadi dua, satu antaranya mengenai budi dan mengenai subjek lain.Tentang budi al-Farabi menyampaikan bahawa filsafat dalam erti penggunaan budi fikiran secara umum dan luas ialah lebih dahulu daripada keberadaan agama, baik ditinjau dari sudut waktu mahupun dari sudut logik.Dikatakan lebih dahulu dari sudut pandang waktu, kerana al-Farabi berkeyakinan bahawa masa permulaan filsafat, dalam erti penggunaan budi secara luas bermula semenjak zaman Mesir Kuno dan Babilon, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa.Dikatakan lebih dahulu secara budi kerana semua kebenaran dari agama harus difahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.
Karya al-Farabi wacana budi menyangkut bahagian-bahagian berbeza dari karya Aristotles Organon, baik dalam bentuk komentar mahupun ulasan panjang. Kebanyakan goresan pena ini masih berupa naskah dan sebahagian besar naskah-naskah ini belum ditemukan.Manakala karya dalam kelompok kedua menyangkut pelbagai cabang pengetahuan filsafat, fizik, matematik dan politik.Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berhubungan dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.
Diantara judul karya al-Farabi yang populer ialah :
Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
Ihsha’ al-Ulum 25
Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
Kitab Tahshil al-Sa’adah
‘U’yun al-Masa’il
Risalah fi al-Aql
Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
Risalah fi Masail Mutafariqah
Al-Ta’liqat
Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat
Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al-Farabi sanggup ditinjau menjadi enam bahagian iaitu logika, ilmu-ilmu Matematik, ilmu Alam, teologi, ilmu Politik dan kenegaraan.Karyanya yang paling populer ialah Al-Madinah Al-Fadhilah iaitu Kota atau Negara Utama yang membahaskan wacana pencapaian kebahagiaan melalui kehidupan politik dan korelasi antara rejim yang paling baik berdasarkan pemahaman Plato dengan aturan Ilahiah islam.Filsafat politik Al-Farabi khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi aliran Imamah dalam Syi’ah.
Al-Farabi menguasai banyak sekali cabang ilmu pengetahuan.Pada tahun 1890 Dieterici menterjemahkan beberapa risalah pendek al-Farabi, umumnya yang berkaitan dengan sains.Bukunya yang merupakan sumbangan terhadap sosiologi ialah Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah yang kemudian diedit dan diterjemahkan oleh Dieterici sebagai Philosophia de Araber dan Der Mustarstaat Von Al-Farabi.Buku penting lain yang diterjemahkan kepada pelbagai bahasa Barat ialah Musiqi al-Kabir dan Ihsa al-Ulum, sebuah karya ensiklopedia yang kemudian banyak besar lengan berkuasa atas penulis Barat.
Dalam menetapkan penggolongan jenis ilmu, Al-farabi menampilkan citra pemikiranya yang lengkap sehingga sanggup dilihat dengan gampang setiap persamaan antara pelbagai jenis ilmu yang pada mulanya dijangka tidak ada persamaan sama sekali.Seperti ilmu nahu contohnya yang menjadi dasar penelitian soal bahasa ilmu semantik.Pandangan al-Farabi mengenai semantik sebagai alat penguasaan pelbagai jenis ilmu bekerjsama mengikuti pemikiran Aristotle, bukan mengikuti pemikiran para filosof Stoicisme yang menganggap semantik sebagai ilmu pengetahuan.Oleh alasannya ialah itu, tidak hairanlah jikalau al-farabi memandang semantik sebagai alat atau sebagai sarana untuk menetapkan aturan umum guna memperkuat kesanggupan berfikir yang sanggup membawa insan kejalan yang tepat menuju kebenaran.
Menurut al-Farabi, terdapat tiga jenis keutamaan iaitu keutamaan pandangan, keutamaan berfikir dan keutamaan akhlak.Dalam Tahshilus-Sa’adah ada menyampaikan bahawa duduk masalah kemanusiaan yang jikalau dihayati oleh bangsa-bangsa atau oleh penduduk sesuatu negeri sanggup mendatangkan kebahagiaan duniawi dalam kehidupan pertama dan kebahagiaan yang jauh lebih tinggi dalam kehidupan akhirat.
Yang dimaksud dengan pandangan utama ialah pelbagai jenis ilmu menuju kepada pengetahuan wacana semua yang ada dalam alam wujud dan ini terbahagi kepada dua bahagian iaitu Ilmu Fithriyyah badihiyyah yakni pengetahuan yang dicapai melalui intuisi dan ilmu lainya yang sanggup dicapai dengan jalan pengamatan, penelitian, pengajaran dan pembelajaran. Semua ilmu tersebut terdiri daripada tiga jenis pokok iaitu ilmu pasti, ilmu alam dan ilmu ketuhanan atau metafisik.Keutamaan berfikir berkhasiat untuk menetapkan tujuan yang dicita-citakan oleh insan dan yang hendak diusahakan kewujudannya.Selagi tujuan itu bermanfaat dan baik, maka jalan yang ditempuh untuk mewujudkanya pun bermanfaat dan baik.
Bukunya Ihsa al-Ulum merupakan ensiklopedia mengenai ilmu moral yang terbahagi kepada lima bagian.Bahagian pertama ialah bahasa, kedua ialah ilmu hitung, manakala yang ketiga ialah ilmu logika, keempat ilmu-ilmu alam iaitu natural science, dan yang kelima ialah politik dan sosial ekonomi atau sosio ekonomi.Para jago fikir mutakhir mengakui bahawa mereka berhutang budi kepada al-Farabi atas segala yang telah mereka capai dalam bidang ilmu pengetahuan.Dalam mengambil sesuatu materi ilmiah dari asalnya, al-Farabi menggunakan jalan pengelasan yang sangat teliti yang berdasarkan dialektika.Dan ini dilakukan dengan meletakkan kaedah-kaedah umum kemudian dan daripadanya diambil alasan yang diperlukan.
Pendapat al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal, first intelegence dan lainnya diambil dari teori Aristotles mengenai penciptaan atau creation.Tetapi al-Farabi tidak percaya akan kekekalnya alam, yang berdasarkan pendapat Aristotles bahawa alam itu ialah kekal. Menurut al-Farabi, alam ini mempunyai pangkal dan hujung.Selanjutnya al-Farabi percaya akan adanya hidup sehabis mati akan menjadi hari pengadilan bagi insan yang berakhir menerima ganjaran baik atau jelek berdasarkan perbuatan mereka pada masa hidup di atas bumi.Ini terang memperlihatkan bahawa pendapat al-Farabi ini ialah bawaan dari al-Qur’an dan Hadis Maka, bagi al-Farabi budi bukanlah satu jalan untuk mencapai makrifat tetapi ia ialah alat pencapai makrifat.Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat tetapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu.
Tata kerja budi dalam proses pemikiran, amaliyat al-fikri, berdasarkan al-Farabi meningkat mengikut tahap.Akal pada seseorang bayi bersifat potensial (aqlu bil quwwati), yang disebut oleh al-Farabi dengan aqlul-hayuli (material intelect).Aqlul-hayuli itu bersifat pasif (passive intelect), dan mulai bergerak menjadi budi berkarya (aqlu bil-fi’li, actual intellect) sehabis mendapatkan citra bentuk-bentuk (al surah, forms) melalui kodrat indriani (al hassat) mahupun kodrat imajinasi (al mutakhayyilat).Beliau mengolahnya menjadi pengertian-pengertian (al ma’ani, conceptions) dan pada tahap itu ia menjelma budi berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect).Akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect) itu sekadar bertindak mengolah, mencari hubungan-hubungan antara segala pengertian untuk merekamkan tahu (al’ilm, knowledge) pada perbendaharaan ingatan.Tetapi tahu itu sendiri berdasarkan al-Farabi ialah anugerah dari budi ulet (aqlul-fa’al, active intellect) yakni kudrat ilahi, sebagai akhir dari acara budi berdayaguna itu.Tahu di dalam perbendaharaan ingatan itu berpangkal kepada materi dan bentuk (al madah dan al shurah) yang ditangkap oleh kudrat indriani dari alam luar.Materi itu tidak mempunyai perwujudan tanpa bentuk. Akan tetapi di dalam proses pemikiran (amaliyat alfikri) sentiasa materi itu dipisahkan dengan bentuk hingga diperkirakan perwujudan materi tanpa bentuk, yang oleh al-Farabi disebut dengan al hayuli dan oleh Aristoteles disebut dengan hyule.
Al-farabi telah memperlihatkan pembagian terstruktur mengenai wacana ilmu pengetahuan dalam tujuh bahagian iaitu logic, percakapan, matematik, fizik, metafizik, politik dan ilmu fikhi (jurisprudence).Ketujuh-tujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu.Ilmu pengetahuan wacana percakapan yang dikenali sebagai ilmu al-lisan, dibahaginya pula kepada tujuh bahagian iaitu bahasa gramatika, syntax (ilmu tarkib al-kalam), syair, menulis dan membaca.Aturan ilmu bahasa yang mencakupii kesemua pembahagian ini merupakan tujuh serpihan pula iaitu ilmu kalimat mufrad, ilmu kalimat yang dihubungkan oleh harf el-jar (proposition), undang-undang wacana penulisan yang benar, undang-undang wacana pembacaan yang betul dan aturan wacana syair yang baik.
Ilmu logic diajarkan kepada menengah atas bagi orang-orang yang hendak menyediakan dirinya menjadi sarjana.Oleh alasannya ialah itu, ilmu logik itu lebih dipandang bersifat seni daripada sifatnya sebagai ilmu.Ilmu atau seni logik pada umumnya terdiri sebagai berikut, ‘Supaya sanggup mengoreksi fikiran seseorang untuk mendapatkan kebenaran’.Logik itu dibahagi dalam beberapa bahagian.Dimulakan dengan Catagory dan disudahi dengan syair (poetry).Orang Arab juga memasukkan ilmu balaghah (rothorika) dan syair menjadi sebahagian dari ilmu logik.Kemudian sehabis diselidik, ternyata itu termasuk dalam bahagian mantik, maka kini ini pembahagian ilmu budi menjadi sembilan fasal.Tentang matematik, al-Farabi membahaginya menjadi tujuh bahagian iaitu arithmatik, geometri, optik, astronomi, musik, hisabaqi dan mekanikal.Metafizik ditujukan pada dua jenis pelajaran.Pertama, pengetahuan wacana makhluk dan yang kedua contoh-contoh dasar atau filsafat ilmu.Tentang ilmu makhluk dikatakannya sebagai ilmu yang mempelajari dasar-dasar makhluk yang tidak didasarkan kepada bentuk jasmani atau benda-benda berupa tubuh.
Politik dikatakannya juga sebagai ilmu sipil yang menjurus kepada etika dan politik.Filusuf-filusuf Islam menukarkan perkataan Politeia dari bahasa Yunani dengan perkataan Madani.Erti perkataan ini ialah sipil yang berhubungan dengan kota.Ilmu agama dibahagikan kepada fikih (Yurisprudence) dan kalam (theology).Ilmu kalam ada dua cabangnya yang kemudian dimasukkan menjadi ilmu agama, ialah pengetahuan baharu yang dimasukkan ke dalam Islam.