Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Filsafat Islam Harun Nasution


MAKALAH
diajukan untuk memenuhi slah satu kiprah Matakuliah Filsafat Islam

Dosen pengampu        : Dr. Aef Wahyudin, M.Ag




diajukan untuk memenuhi slah satu kiprah Matakuliah Filsafat Islam FILSAFAT ISLAM HARUN NASUTION




Oleh:
Shofa Fauziyah
1154020137



KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM IV/D
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini sanggup tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas proteksi dari pihak yang telah membantu dalam terselesainya makalah ini.

Dan keinginan kami semoga makalah ini sanggup menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya sanggup memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah semoga menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh lantaran itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.






Senin, 29 Mei 2017


Penulis

















DAFTAR ISI


















BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Harun Nasution yakni ilmuan muslim yang amat berwibawa dan disegani oleh kalangan intelektual muslim, baik didalam maupun diluar negeri dan sekaligus menjadi sumber timbulnya banyak sekali perkara yang menjadikan perdebatan. Keahliannya dalam bidang teologi dan filsafat bercorak rasional dan radikal, harun nasution dikenal juga sebagai ilmuan yang banyak menyampaikan gagasan dan pemikiran yang berbeda dengan pemikiran para ilmuan lainnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi Harun Nasution
2.      Pemikiran Harun Nasution






















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Pemantang Siantar, Sumatera Utara. Bapaknya yakni seorang kadi (penghulu) setempat. Menurut penuturannya, sang ayah sering membaca kitab kuning berbahasa Melayu, suka berkunjung atau berdiskusi  dengan banyak orang yang mengetahui agama. Sang ayah menikah dengan ibunya yang semarga. Padahal dalam aturan budpekerti itu yakni terlarang. Tetapi ayahnya melarang adat. Akibatnya ayahnya perlu membayar denda dan karenanya pergi ke Pemantangsiantar. Disana lah ia dilahirkan. Ia menjadi anak keempat dari lima bersaudara(Aqib Suminto, 1989, p. 4).
Awalnya ia disurūḥ  oleh orang tuanya untuk masuk sekolah Belanda, HIS. Di rumah, ia berguru ngaji dan menulis bahasa ‘Arab  di sekolah (HIS). Meskipun sekolah umum tapi pelajaran menulis ‘Arab  diberikan, lantaran masyarakat pada masa itu masih menggunakan goresan pena ‘Arab  Melayu (Aqib Suminto, 1989, p. 7).
Harun mengatakan (Aqib Suminto, 1989, p. 9) bahwa semenjak kecil ia sudah sering merepotkan guru-gurunya atau orang tuanya lantaran selalu bertanya: mengapa ini begini, mengapa begitu. Seperti waktu itu, ayahnya walaupun menentang jajahan Belanda, tetap saja mempunyai faham fatalis. Ia beropini bahwa tiba perginya Belanda terserah Allāh. Karena jikalau dikehendaki Allah, Belanda akan pergi dengan sendirinya. Untuk itu sang ayah menyarankan kepada anak-anaknya untuk tidak terlalu rebut-ribut menyoalkan urusan perpolitikan. Beliau tidak bisa mendapatkan begitu saja suatu pendapat tanpa ada dialog.
Setelah selesai di HIS kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Modern Islāmietische Kweekschool (MIK), semacam MULO, di Bukit Tinggi, yakni sekolah guru menengah pertama swasta modern milik ‘Abd al-Ghaffār Jambek, putera Syaikh JamĪl Jambek. Disana bernuansa modern. Ia menggunakan dasi, dan diajarkan di sekolah bahwa memelihara anjing tidak haram, tidak perlu berwudhu jikalau ingin memegang Alqurān, tidak perlu merisaukan pemakaian uṣallĪ, dan sebagainya. Ia merasa sekolah ini sangat cocok dengan pemikirannya (Aqib Suminto, 1989, p. 7).
Belum selesai sekolahnya –karena sekolah swasta dikala itu masih miskin- sang Ibu memaksanya untuk berguru ke Mekkaħ. Harun menerimanya walaupun bekerjsama lebih bahagia pergi ke Meṣir. Saat tiba di Mekkaħ. Ia merasa kasihan (baca: malu) kepada keadaan Mekkaħ dikala itu layaknya masa pertengahan. Padahal dikala itu sudah masa ke-20. Disana tidak ada mobil, yang ada hanya unta dan keledai. Jalanan penuh debu, pasir, kotor, penuh lalat. Orang-orangnya pun masih berpakaian tradisional. Sayangnya, lantaran kurang fasih berbahasa ‘Arab , ia tidak bersekolah dan hanya membaca buku-buku berbahasa Belanda hingga karenanya ia memaksa orangtuanya untuk bisa pergi ke Meṣir. (Aqib Suminto, 1989, pp. 9-11)
Setelah berguru beberapa bulan guna mempersiapkan diri untuk sekolah di Al-Azhar, karenanya ia diterima sebagai mahasiswa Fakultas Uṣul ad-dĪn. Disana ia lebih unggul dibandingkan teman-temannya dalam bidang bahasa menyerupai Inggris, dan Perancis. Sembari kuliah di Al-Azhar, ia juga kuliah di Universitas Amerika, Kairo. Disana ia mengambil Fakultas Pendidikan, tetapi lantaran keadaan di Indonesia sedang semerawut, kuliahnya pun terbengkalai disebabkan tidak adanya kiriman uang. Untungnya ia sempat mendapat gelar BA dalam Studi Sosial di Universitas Amerika pada tahun 1952(Aqib Suminto, 1989, p. 14).
Saat di Meṣir ia mengatakan (Aqib Suminto, 1989, p. 16) juga aktif dalam perkara perpolitikan di Perpindom yang terkadang membicakan soal usaha kemerdekaan Indonesia. Diantara usahanya yakni memperkenalkan Indonesia kepada rakyat Meṣir, terutama pemimpinnya. Sementara untuk Indonesia ia beserta rekannya menciptakan karangan wacana perkembangan politik dan pendidikan di Meṣir. Semangat terjunnya ke dunia politik diakuinya dikarenakan sedang bergemanya nasionalisme di Meṣir.
Setelah memperoleh informasi bahwa Indonesia sudah merdeka. Harun dan kawan-kawan eksklusif menerjemahkan informasi kemerdekaan Indonesia ke dalam bahasa ‘Arab  dan Inggris. Lalu diberikan ke ‘Azzām. Juga mengirim ke surat-surat kabar menyerupai Jam’iyyaħ Al-ikhwān al-muslimĪn. Berbagai cara dilakukan menyerupai nama Presiden Soekarno ditambah dengan Ahmad di depannya. Kemudian M. Hatta dipenuhkankan menjadi Muḥammad Hatta. Dari sinilah dunia ‘Arab  mengenai Indonesia telah merdeka dan banyak dari mereka yang eksklusif menyokong kemerdekaan Indonesia (Aqib Suminto, 1989, p. 23).
Selanjutnya ia bekerja di kantor Perwakilan RI, Kairo. Duduk di penggalan Inggris.  Lalu disurūḥ  pulang pada tahun 1953 untuk mengenal keadaan di Indonesia. Setiap hari ia masuk kantor di Departemen Luar Negeri di penggalan Timur Tengah. Setahun kemudian ia ditugaskan sementara ke ‘Arab  Saudi untuk membantu perkara haji(Aqib Suminto, 1989, pp. 25-26).
Pada selesai Desember 1955 ia (Aqib Suminto, 1989, pp. 27-36) dipindah kerja ke Belgia, tepatnya bekerja di Kedutaan RI di Brussels. Beberapa tahun kemudian, ia pindah ke Meṣir dan kembali sekolah di Al-dirāsaħ Al-Islāmiyyaħ. Ia bahagia lantaran disini tidak menggunakan cara usang menyerupai menghafal menyerupai si Al-Azhar. Disana –menurutnya- sudah rasional. Salah satu dosennya ialah AbĪ Zahraħ. Tetapi lantaran tidak puas, ia keluar dan pindah ke McGill University atas ajakan H.M Rasyidi. Di sinilah ia benar-benar mengenal Islāmyang menurutnya sangat rasional.
Sebab utama kekurangsenangannya terhadap semua forum pendidikan yang pernah ia duduki ialah lantaran sifat pemfokusan kepada hafalan. Berbeda ketika ia kuliah di Kanada yang metodenya lebih dengan berdiskusi. Untuk itu proses memahami, menelaah, membandingkan, menganalisa, sudah biasa dilakukan disana bahkan diperbolehkan untuk berbeda pendapat dengan dosen.  (Aqib Suminto, 1989, p. 90). Setelah kuliah selama dua tahun setengah ia mendapat gelar MA dengan tesis mengenai Negara Islām di Indonesia, dilanjutkan dengan kuliah doktornya di daerah yang sama. Disana ia mempunyai nilai yang baik, dengan perolehan rata-rata B+ atau A. Setelah mendapat gelar doctor, ia ditawari berkerja di IAIN dan UI, tetapi jodohnya ternyata di IAIN hingga karenanya pada tahun 1973 diangkat sebagai rektor(Aqib Suminto, 1989, pp. 39-41). Hingga meninggal di Jakarta tanggal 18 September 1998 (Wikipedia.org).

B.     Pemikirannya
Harun Nasution dikenal umum sebagai seorang cendikiawan muslim yang sangat rasional dan liberal. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan semoga kaum muslim Indonesia berfikir secara rasional (Wikipedia.org). Ia juga mengajurkan sepatutnya kita sanggup menggandakan SyĪ’aħ yang sudah berfikir rasional (Aqib Suminto, 1989, p. 59). Karena pemikirannya ini banyak kalangan yang menolak, tetapi ada juga yang memberi apresiasi. Ia merasa heran mengapa umat Islām harus saklekpadahal pedoman Islām menyampaikan ruang yang begitu luas kepada umat muslim untuk bisa berinovasi. Menurutnya pedoman Islām yang qaṭ’iyyaħ cuma sedikit, menyerupai Tuhan itu ada dan Esa, keharaman riba dan memakan daging babi serta khamr. Sedangkan sisanya yakni ayat-ayat yang masih bersifatdzann’iy dilalah bahkan kalau ḥadĪṡ masih ada yang bersifat dzann’iy al-wurud. Untuk itu, menurutnya semua aspek –bukan hanya aspek fikiħ- dalam Islām masih banyak yang bisa kita penemuan tanpa merubah esensi ajarannya. Ia memberi contoh, dalam bidang doktrin pun ada yang bersifat dzann’iy dilalah dan dzann’iyal-wurud seperti perihal rukun iman keenam. Karena menurutnya Alqurān tidak menyebutkan kada dan kadar. Beliau juga sepakat dengan sistem penyatuan kelas antara laki-laki dan perempuan. Karena menurutnya tidak ada dalil yang secara terang-terangan melarang itu. Bahkan mengenai aturan waris ia sepakat dengan pendapat Munawir Syadzali (Aqib Suminto, 1989, pp. 54-57).
Harun menyatakan bahwa keadaan statis yang melanda di badan umat muslim dikala ini ialah lantaran merasa terikat pada ajaran-ajaran bukan dasar yang dihasilkan oleh zaman silam (ijtihād). Sebagai gantinya diharapkan pedoman bukan dasar (ijtihād) gres dengan menjadikan penafsiran gres dari pedoman dasar yang terdapat dalam Alqurān dan hadits yang diubahsuaikan dengan tuntutan zaman (Nasution, 2009: 114).
Karena begitu rasionalnya, tidak banyak dari kalangan awam yang mengenalnya sebagai seorang ustadz. Untuk itu Azyumadri Azra (Abaza, 1999, p. xxi) menyatakan bahwa walaupun Harun sangat pantas disebut sebagai ulama (baca: ustadz), namun realitas sosiologis di kalangan umat Islām menyatakan lain. Ia lebih dikenal orang sebagai tokoh intelektual. Harun sendiri mengakuinya dengan berkata:
“Aku sendiri memang kurang bisa berbicara dengan kebanyakan orang. Pembicaraanku seringkali terlalu filosofis. Maka setiap kali saya diminta untuk berbicara di masjid, kubilang tidak bisa. Aku tidak bisa bercerita dongeng kepada mereka. Sebab, dongeng tidak masuk kecerdikan bagiku. Aku pun dipaksa, saya memang tiba juga membicarakan apa yang kumiliki. Tapi mereka mengantuk, atau jikalau dipaksa terus, karenanya kubilang tidak sanggup lantaran alasan sudah tua. Namun kalau diajak diskusi saya selalu datang. Karena kebanyakan dari mereka yakni dari kalangan intelektual yang mau berfikir rasional. Begitu pula kalau saya mengarang. Karanganku diperuntukkan orang atas, bukan orang awam”(Aqib Suminto, 1989, p. 60)
Ia melanjutkan:
“Harapanku memang Cuma satu, pemikiran Asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional mu'tazilaħ, pemikiran para filosof atau pemikiran rasional. Caranya cuma bisa dengan memegang para penguasanya saja. Sayangnya selama ini yang berdakwah banyak dari golongan awam. Golongan intelektual di Indonesia ini tidak kelihatan yang jadi juru dakwah.”(Aqib Suminto, 1989, p. 61)
Berbeda dengan kaum abangan atau ulama yang bercorak fundamentalis, kaum cendekiawan terlebih yang sepemikiran dengannya, agaknya banyak menyampaikan kebanggaan atau apresiasi terhadap hal-hal yang telah ditorehkan oleh Harun. Misalnya saja Zuly Qodir yang menyatakan bahwa kiprah Harun Nasution demikian besar dalam pengembangan gambaran IAIN Jakarta menjadi sebuah mazhab tersendiri dalam peta pemikiran Islām Indonesia, menggeser posisi ITB, UNPAD, UGM, Unbraw. (Qodir, p. 15)Juga ada mantan Menteri Agama Munawir Syadzali yang pernah mengatakan:
“Kiranya tidak berlebihan jikalau saya katakan bahwa kehadiran ia di dalam keluarga besar IAIN telah menghasilkan pola pikir yang maju dan menggalakkan keberanian beropini serta keterbukaan terhadap dunia luar”(Aqib Suminto, 1989, p. viii).
Nurcholis Madjid seorang cendekiawan muslim terkemuka bahkan di kalangan orientalis mengatakan:
“Orang semacam Harun telah menyampaikan ‘bekas’ terhadap perkembangan keIslāman di IAIN menyerupai menghasilkan suatu tanda-tanda umum dimana orang berani berdiskusi secara terbuka, berani mempertanyakan pandangan atau doktrin yang sudah mapan dan tidak melihat doktrin itu sebagai taken for granted. Dia mempertanyakan relevansi doktrin itu kepada sejarah, bagaimana kaitannya dulu dan sebagainya. Inilah yang menghasilkan suatu kemampuan tertentu yang secara teknis disebut learning capacity, yaitu kemampuan untuk belajar.”(Aqib Suminto, 1989, pp. 102-103)
Madjid melanjutkan:
 “Yang secara substansi bisa kita teruskan dan kita kembangkan dari Pak Harun ialah studi atau kajian mengenai kalam (teologi) dan filsafat. Kalam oleh para hebat Barat disebut teologi rasional, tidak menyerupai teologi Nasrani yang dogmatis. Kalam itu sangat dialektis dan logis.”(Aqib Suminto, 1989, p. 104)
Menurut Madjid (Aqib Suminto, 1989, p. 109) salah satu efek dari Harunisme yakni menciptakan agama menjadi lebih fungsional, tidak hanya simbol-simbol yang sentimental dan penuh perasaan. Harun Nasution –menurut Madjid- tidak suka pada dzauqqiyat tapi aqliyyaħ. Kalau dzauq saja, para pengikut kultus jauh lebih mantap, lebih puas daripada orang yang beragama. Karena apa? Karena guru-guru kultus selalu mengatakan: “ikut saya, pasti masuk surga.” Madjid juga menyangsikan perilaku beberapa sarjana yang menyatakan bahwa pembaharuan teologis tidak akan berdampak apa-apa pada sisi sosial ekonomi masyarakat. Padahal menurutnya salah.

Harun Nasution disebut-sebut sebagai salah satu tokoh pembaru Islām di Indonesia yang begitu ulet memperkenalkan kembali pemikiran rasional mu'tazilaħ.Maka masuk akal jikalau Rasyidi menyampaikan bahwa istilah Neo-Mu'tazilaħ akan eksklusif dialamatkan kepada Harun Nasution lantaran pandangan gres dan gagasannya dalam mendobrak paham fatalisme dan taklid buta yang dianut lebih banyak didominasi muslim Indonesia serta berupaya menghidupkan kembali teologi mu'tazilaħ yang serba rasional(Nurhadi R. , p. 4)
Tiada lain yang menjadi latar belakang pembaharuan yang dilakukan oleh Harun Nasution dikarenakan keprihatinannya kepada umat Islām yang secara kuantitatif bersifat mayoritas, tetapi dari segi kualitatif yang diindikasikan dengan bantuan dalam pembangunan bersifat minoritas. Realitas ini yang mendorongnya untuk mencari akar penyebabnya secara mendasar dan kemudian menyampaikan solusinya(Nurhadi, 2013, p. 45)
Menurut Harun (2013: 39) pemikiran rasional mu'tazilaħ ini pun sudah mulai timbul kembali oleh pemuka-pemuka pembaharu Islām menyerupai Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan sebagainya dan pada karenanya pandangan-pandangan negatif terhadap mu'tazilaħ pun mulai berubah. Seperti mengenai paham fatalisme yang telah menciptakan umat Islām mundur. Di dalam Al-'urwaħ al-Wusqa 'Abduh dan Al-Afghni menjelaskan bahwa paham kada dan kadar telah diselewengkan menjadi fatalisme, sedangkan paham itu bekerjsama mengandung unsur dinamis yang menciptakan umat Islām maju. Untuk itu, paham fatalisme yang  terdapat di kalangan umat Islām dikala ini perlu diubah dengan paham kebebasan insan dalam kemauan dan perbuatan layaknya paham mu'tazilaħ. Menurut Harun, inilah yang akan menjadikan kedinamisan kembali umat Islām kembali (Nasution, 2011: 57).
Masih menurutnya (Supriadi, 2009, p. 42)bahwa yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islām menyerupai golongan mu'tazilaħ, asy’ari, māturĪdiyaħ dan sebagainya bekerjsama bukanlah kecerdikan dengan wahyu, melainkan penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan teks wahyu yang lain. Dengan kata lain, ijtihād ulama yang satu dengan ijtihād ulama yang lain mengenai penafsiran wahyu. Islām memandang kecerdikan tidak lebih tinggi dari wahyu. Hanya disayangkan, di kalangan umat Islām khususnya masih merasa curiga dan takut terhadap pendapat-pendapat mu'tazilaħ dan para filosof muslim, lantaran mereka dianggap tidak mengindahkan wahyu. Padahal mereka juga meyakini wahyu, mereka pun meyakini teks pedoman Islām yang qath’iy al-wurud danqath’iy al-dilalah yang otoriter dan benar datangnya dari Allāh. Tetapi teks demikian sangat sedikit jumlahnya, sehingga yakni sebuah keniscayaan jikalau pemikiran Islām sanggup berkembang.
Selain pembela pemikiran rasional mu'tazilaħ, Harun juga menyingkap pemikiran Muhammad Abduh yang menurutnya yakni tokoh rasionalis muslim sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Pemikiran Muhammad Abduh –menurutnya- tak jauh berbeda dengan mu'tazilaħ. Dalam penelitiannya yang karenanya menjadi disertasi dan dibukukan dengan judul Muhammad Abduh dan Teologi Mu'tazilaħ, Harun (1987: 92) menemukan bahwa pemikiran teologi yang dianut oleh Muhammad Abduh banyak mempunyai kesamaan dengan teologi mu'tazilaħ, bahkan ia menyampaikan bahwa Abduh menggunakan kadar kecerdikan yang lebih banyak/tinggi dibanding mu'tazilaħ. Akal, berdasarkan Abduh bukan hanya sanggup mengetahui empat hal pokok (mengetahui Tuhan, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebajikan dan kejahatan, mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat) menyerupai yang disebut kamu mu'tazilaħ, tetapi di atas itu mempunyai dua kemampuan lain yakni, sanggup mengetahui adanya kehidupan darul abadi dan mengadakan hukum-hukum wacana apa-apa yang diketahui oleh kecerdikan itu dan mengajak insan untuk tunduk kepada aturan itu. Abduh (Shihab, 2006, p. 16) tampaknya ingin membebaskan kecerdikan pikiran dari belenggu-belenggu taqlĪd yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya ulama terdahulu sebelum timbulnya perpecahan, yakni dengan memahami eksklusif dari sumber pokoknya Alqurān. Menurutnya pula (2006: 22) Alqurān tidak menggunakan metode menyerupai yang dipakai oleh ajaran-ajaran agama lain, lantaran Alqurān tidak menuntut begitu saja apa yang telah disampaikan, tetapi memaparkan perkara dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan pandangan-pandangan penentangnya seraya mengambarkan kekeliruan mereka.Muhammad Abduh –menurut Harun- terlihat lebih meletakkan kadar keadilan Tuhan lebih besar dibanding kuasa Tuhan, menganggap Alqurān tidak qadĪm melainkan diciptakan, mengenai insan yang tidak bisa melihat Tuhan di akhirat, semua pendapat itu sama halnya konsep kaum mu'tazilaħ (Nasution, 1987: 94). Betapa pun, Abduh mengakui bahwa ada perkara keagamaan yang sukar dipahami dengan kecerdikan namun tidak bertentangan dengan akal. Ia tetap mengakui keterbatasan kecerdikan dan kebutuhan insan akan bimbingan Rasūl (wahyu), khususnya dalam banyak perkara metafisika atau permasalahan 'ibādaħ (Shihab, 2006, pp. 22-23).
Shihab (Shihab, 2006, p. 51) menyampaikan bahwa motivasi dari tindakan yang dilakukan oleh Abduh yakni merasionalkan ajaran-ajaran agama serta mempersempit wilayah mistik yang kesemuanya merupakan penyebab tumbuh suburnya israiliyyat. Shihab melanjutkan bahwa usaha lainnya ialah untuk mengantarkan masyarakat mengetahui sunnaħ Allāh (hukum alam dan masyarakat) yang merupakan salah satu aspek tujuan turunnya Alqurān. Namun menghadapi tekanan khurāfaħ di satu segi dan kekaguman kepada kemajuan ilmu pengetahuan di segi lain, telah menjadikan pengarūḥ -pengarūḥ  tertentu dalam pikiran aliran ini, yaitu kehati-hatian yang mendalam menyangkut hal-hal yang bersifat suprarasional serta kecenderungan untuk menjelaskan segala sesuatu sesuai dengan hukum-hukum alam yang tidak diketahui oleh manusia, atau dengan kata lain “menakwilkannya sehingga sejalan dengan apa yang mereka namakan logis”. Abduh lupa bahwa hukum-hukum alam tiada lain hanyalah “ikhtisar pukul rata statistik”, dan apa yang diketahui darinya barulah sebagian dari keselurūḥ an.
Untuk memperkuat dugaannya, Harun mengutip pendapat Syaikh Al-Azhar, Sulaimān ad-dunyā yang dalam bukunya menyatakan pula bahwa 'Abduh mempunyai konsep teologi di atas posisi mu'tazilaħ. Syaikh 'Abd al-HalĪm Maḥmūd –mantan rektor Al-azhar- mengatakan, “Apa yang ditempuh oleh Abduh yakni sejalan dengan aliran Mu'tazilaħ, baik dalam prinsip-prinsip yang dianutnya maupun dalam tujuan-tujuan yang ingin dicapainya” (Shihab, 2006, p. 36).
Memang, pemikiran Abduh populer akan rasionalitasnya, tetapi hampir semua menolak berkata kalau ia penganut mu'tazilaħ, lantaran memang merasa bahwa Abduh yakni ahl as-sunnaħ. Hal ini sebagaimana yang Harun ceritakan sendiri ketika mendapat undangan dari Kedutaan sebuah negara. Ia berkata: “Saat itu kulihat ada Bung Hatta, M.Natsir, dan beberapa ulama duduk bersama sambil makan. Kami memang sudah saling berkenalan. Lalu Hatta berkata, ‘Aku dengar anda sudah selesai doktornya?’ ” “Sudah bung” jawab Harun. “Mengapa tidak dipublisir untuk kita dengar pendapat anda?”. Lalu Harun menjawab, “Muhammad Abduh ternyata mempunyai pendapat-pendapat mu'tazilaħ” eksklusif saja salah seorang dari mereka menanggapi, “naudzubi allāh” kemudian Harun berkata, “Pak Hatta! Bagaimana jadinya kalau hal itu saya katakan kepada orang lain. Jagoannya saja menyampaikan begitu.” (Aqib Suminto, 1989, p. 38).
Selanjutnya Harun juga menulis buku Falsafat Islām. Buku ini berisi mengenai cara berfikir wacana dasar-dasar agama, mencoba memahami dasar-dasar itu berdasarkan logika dan dengan demikian sanggup menyampaikan klarifikasi yang sanggup diterima kecerdikan kepada orang yang tidak percaya pada wahyu dan hanya berpegang pada pendapat akal. Misalnya saja mengenai keberadaan Tuhan. Dalam setiap babnya Harun menyampaikan argumen-argumen rasional yang sanggup diterima oleh semua kalangan, bahkan ateis. Menurutnya, pengetahuan agama tidak selalu menggunakan wahyu, melainkan juga dengan penggunaan bukti-bukti historis, argumen-argumen rasional, dan pengalaman pribadi. Ia menyatakan bahwa ‘pendekatan rasional’ wacana agama sanggup mempertebal keimanan seseorang (Nasution, 1973: 5-11). Dalam buku ini sesungguhnya ia berusaha untuk mengambarkan pedoman Islām sangat rasional dan sanggup dibuktikan. 
Seperti yang telah dipaparkan di atas, latar belakang Harun melaksanakan rasionalisasi dalam Islām dikarenakan minimnya produktivitas umat muslim. Untuk itu, ada beberapa saran yang dianjurkan olehnya (Nasution, 1973: 201) untuk membawa umat muslim kembali jaya, diantaranya (a) umat Islām harus kembali ke pedoman yang sebenarnya, (b) siap taklid kepada pendapat dan penafsiran usang juga harus ditinggalkan dan pintu ijtihād dibuka. Ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Alqurān ḥadĪṡ sebagai patokan terhadap perincian-perinciannya yang cara pelaksanaannya sanggup diubahsuaikan dengan perkembangan zaman, (c) dinamika umat Islām harus dibangkitkan lagi dengan menyuburkan pemikiran rasional mu'tazilaħ dan menjauhkan paham jabariyah. Umat muslim harus dirangsang untuk berfikir dan banyak berusaha lebih maksimal, (d) pendidikan tradisional harus diubah dengan memasukkan mata pelajaran wacana ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah, (d) dalam bidang politik, pemerintahan otoriter harus diubah menjadi pemerintahan demokratis. Kedalam dunia Islām harus dimasukkan sistem pemerintahan konstitusional.


C.    Bidang Politik Negara
Jarang yang mengetahui bahwa Harun Nasution juga mempunyai ketertarikan dengan perkara perpolitikan lantaran memang hampir semua karyanya lebih concern terhadap aspek teologi. Tetapi jikalau ditelusuri lebih dalam, ternyata thesis yang dikerjakannya mengenai politik Islām di Indonesia terutama mengenai konsep politik Islām berdasarkan Masyumi. Dalam thesis itu ia berkesimpulan bahwa terjadi persinggungan antara golongan sekuler dengan golongan Islāmis dalam permasalahan penegakkan Negara Islām di Indonesia tidaklah dimenangkan oleh salah satu pihak, lantaran ternyata karenanya yang menang yakni konsep Pancasila. Dengan pancasila itu Indonesia tidak menjadi Negara agama tertentu dan juga bukan Negara sekuler tetapi menjadi Negara bertuhan dan Harun menyatakan bahwa pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yakni sejalan dan tidak bertentangan dengan pedoman Islām.
Menurut analisisnya(Aqib Suminto, 1989, pp. 220-221)bukan hanya seputar Negara Islām, bahkan soal Negara saja tidak ada ayat atau hadits yang dengan secara tegas menyebutkan pembentukkan pemerintahan atau Negara di dalam Islām. Kalaupun ada, itu hanya berdasarkan ijtihād dari surat An-Nisa ayat 59. Tetapi ia menyampaikan bahwa kepentingan Negara sejalan dengan kepentingan agama, lantaran itu mengadakan Negara atau pemerintahan dalam Islām adalah fardu kifāyaħ.Untuk itu, menurutnya ajaran-ajaran Islām yang originaldalam lapangan kenegaraan hanyalah dalam prinsip-prinsipnya saja dan prinsip-prinsip tersebut tidak menunjuk secara spesifik kepada sebuah model tertentu wacana bentuk Negara dan susunannya. Dalam sejarah –masih menurutnya- telah terjadi banyak sekali macam perubahan dalam perkara kenegaraan. Di masa Nabiprinsip-prinsip itu dijelmakan ke dalam bentuk Negara teokratis dan menjelma sebuah Negara republik demokratis di zaman Khulafā al-rasyiidaħ. Selanjutnya berubah lagi menjadi monarki otoriter di zaman dinasti-dinasti, berubah lagi menjadi monarki konstitusional (kekuasaan raja yang otoriter mulai dibatasi oleh konstitusi) dan pada era modern kontemporer ini kembali mengambil bentuk republik demokratis. Agaknya model itulah –menurutnya- yang lebih sejalan dengan Alqurān dan sunnaħ (Aqib Suminto, 1989, pp. 223-228).
Adapun prinsip-prinsip yang harus ada dalam sebuah negara berdasarkan Harun Nasution (Aqib Suminto, 1989, pp. 228-229)pertama-tama yakni tujuan yang hendak dicapai oleh Negara itu, yakni untuk mewujudkan masyarakat beragama dan berketuhanan Yang Maha Esa yang didalamnya terdapat persatuan, persaudaraan, persamaan, musyawarah, dam keadilan. Sedangkan prinsip-prinsip yang harus dijelmakan pada penyelenggaraan Negara yakni pemerintah haruslah bersifat adil dan demokratis. Organisasi pemerintahan bersifat dinamis, maksudnya apakah susunan pemerintah itu presidensial atau parlementer bukanlah suatu masalah. Sedangkan kedaulatan yakni ditangan rakyat di bawah bimbingan prinsip-prinsip Alqurān dan ḥadĪṡ. Sumber aturan tertinggi dalam Negara yakni Alqurān dan sunnah yang penerapannya memerlukan ijtihād. Negara mempunyai hak dan kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang dalam terminologiIslām klasik disebut Qānūn untuk membedakannya dengan fikiħ yang dibuat oleh para ulama.
Ketertarikannya kepada permasalahan negara itulah yang menciptakan ia meminta Munawir Syadzali untuk mengajar fikiħ as-siyāsii kepada mahasiswa S3 IAIN supaya mahasiswa Islām Indonesia paham mengenai permasalahan ketatanegaraan(Syadzali, 2003, p. ix).

D.    Hak Asasi Manusia
Selain perihal teologi, filsafat, dan tata Negara, Harun juga mempunyai perhatian terhadap isu-isu internasional menyerupai hak asasi manusia. Maka dari itu ia pernah menyampaikan kata pengantar dalam sebuah buku yang membahas mengenai hak asasi insan dalam Islām. Menurutnya HAM memang diajarkan oleh Islām dalam konsep tauḥidnya. Karena semua insan hanyalah makhluk maka dari itu semua insan yakni sama, bersaudara, dan bebas sehingga dihentikan ada perbudakan di kalangan manusia. Ia mengutip ayat-ayat Alqurān menyerupai surat Al-A’raf ayat 189, An-Nisa ayat 4, Al-Hujarat ayat 13 dan ḥadĪṡ untuk memperkuat alasannya itu. Tetapi –menurutnya- kebebasan dalam Islām ada batasnya dan mempunyai kewajiban-kewajiban disamping mempunyai hak. Kebebasan mengeluarkan pendapat dihentikan melanggar kepentingan umum. Kebebasan mengumpulkan harta juga dihentikan merugikan masyarakat. Kebebasan mengelola alam juga dihentikan hingga merusak alam. (Harun Nasution & Bahtiar Effendy, 1987, pp. vi-xii)
Ia juga berpedapat bahwa terdapat perbedaan besar antara kebebasan dan hak asasi yang dikembangkan di luar agama dengan pandangan gres kebebasan hak-hak asasi dalam Islām lantaran paham hak asasi dan kebebasan yang dibawa pemikir sekuler ke Indonesia mengutamakan kepentingan pribadi dan melupakan kepentingan umum(Harun Nasution & Bahtiar Effendy, 1987, p. xii)

E.     Karya-karya Harun Nasution
Disamping sebagai seorang pengajar, Harun Nasution juga dikenal sebagai penulis.
Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain :
·         Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)
·         Filsafat Agama (1973)
·         Islam Rasional (1995)
·         Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)
·         islam ditinjau dari banyak sekali aspeknya
·         teologi islam






















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Harun nasution yakni spesialis ilmu kalam dan filsafat islam yang disegani dan kuat dengan corak emikirannya nya yang cenderung rasional dan riberal.
Sifat dan pemikirannya itu amat bertentangan dengan corak memikiran islam yang pada umumnya yang berkembang pada masa itu yakni pemikran tradisional dan terikat pada madzhab tertentu.
B.     Kritik dan saran






















DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu. Jakarta: (Universitas Indonesia)
Nasution, Harun. 1973.Falsafah dan Mistisisme dalam Islam.Jakarta: PT. Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Islam Mu’tazilah. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
Nata, Abudin. 2005. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.