Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

(Esensi Alquran)


Ayat-ayat Muatan (konten) Penyiaran
diajukan untuk memenuhi salah satu kiprah mata Esensi Al-Quran

Dosen pengampu: Drs. H. Rojudin, M.Ag



diajukan untuk memenuhi salah satu kiprah mata Esensi Al (ESENSI ALQURAN)


Oleh:
Shofa Fauziyah
1154020137


KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG


Ayat-ayat yang Membahas Konten Penyiaran
Qs. Al-A’raf ayat 158
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Katakanlah: "Hai insan sesungguhnya saya yaitu utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kau kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kau menerima petunjuk".
Tafsir Jalalain
Dalam tafsir jalalain ayat ini dijealskan sebagai berikut :
(Katakanlah) pembicaraan ini ditujukan kepada Nabi saw. (“Hai Manusia! Sesungguhnya saya yaitu utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kau kepada Allah dan rusul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya) yakni Alquran (dan ikutilah dia, supaya kau menerima petunjuk.”) artinya kau akan menerima bimbingan hidayah.
QS. Al-Baqarah ayat 255
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَلا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ (255)
“Allah tidak ada Ilah (yang berhak untuk diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup abadi lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang sanggup memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Inilah yang disebut ayat kursi. Ayat ini mengandung suatu hal yangsangat agung. Dan terdapat sebuah hadits shahih dari Rasulullah, yang menyebutkan bahwa ayat tersebut yaitu ayat yang paling utama di dalam kitab Allah (al-Qur’an).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, bahwa Nabi pernah bertanya kepadanya: “Apakah ayat yang paling agung di dalam kitab Allah?””Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui,” sahut Ubay bin Ka’ab. Maka Nabi saw. mengulang-ulang pertanyaan tersebut, dan kemudian Ubay bin Ka’ab menjawab: “Ayat kursi.” Lalu dia mengatakan: “Engkau akan dilelahkan oleh ilmu, hai Abu Mundzir. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ayat dingklik itu memiliki satu pengecap dan dua bibir yang senantiasa menyucikan al-Malik (Allah) di sisi tiang ‘Arsy.”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Muslim tanpa adanya tambahan: “Denmi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya ayat dingklik itu memiliki satu pengecap dua bibir yang senantiasa menyucikan al-Malik (Allah) sisi tiang ‘Arsy.”
Hadits yang lainnya diriwayatkan dari Abu Dzar Jundub bin Janadah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar, ia menceritakan: Aku pernah mendatangi Rasulullah saw. ketika dia sedang duduk di masjid, kemudian saya duduk maka dia bertanya: “Hai Abu Dzar, apakah engkau sudah shalat?” “Belum,” jawab Abu Dzar. “Berdiri dan kerjakanlah shalat,” perintah Rasulullah.
Kemudian, lanjut Abu Dzar, saya bangkit dan mengerjakan shalat, sehabis itu saya duduk lagi, kemudian dia bertanya: “Hai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan syaitan yang berwujud insan dan jin.” Lalu kutanyakan: “Ya Rasulullah, apakah ada syaitan yang berwujud manusia?” “Ya,” jawab beliau. Lalu kutanya lagi: “Ya Rasulullah, apakah shalat itu?” Beliau bersabda: “Merupakan amal yang paling bagus. Barangsiapa menghendaki boleh mengerjakan sedikit dan barangsiapa menghendaki boleh mengerjakan banyak.” Lebih lanjut kutanyakan: “Kemudian apa itu puasa?” Beliau menjawab: “Suatu kewajiban yang berpahala dan di sisi Allah terdapat komplemen (pahala).” Kutanyakan lagi: “Lalu apa yang dimaksud dengan sedekah itu?” Beliau menjawab: “Ibadah yang dilipatgandakan (pahalanya).” Selanjutnya kutanyakan: “Lalu mana di antara sedekah itu yang lebih baik?” Beliau menjawab: “Yaitu sedekah yang diberikan oleh orang yang sedikit hartanya atau sedekah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi kepada orang miskin.” Kutanyakan lagi: “Siapakah nabi yang paling pertama?” Beliau menjawab: “Adam.” Kutanyakan lagi: “Nabi yang bagaimana ia itu?” Beliau menjawab: “Ia yaitu nabi yang diajak bicara (oleh Allah secara langsung).” “Ya Rasulullah, berapakah rasul yang diutus?” tanyaku. Beliau menjawab: “Secara keseluruhan mereka berjumlah tiga ratus tiga belas lebih suatu jumlah yang banyak.” Di lain kesempatan Nabi mengatakan: “Mereka berjumlah tiga ratus lima belas orang.” Kutanyakan lagi: “Ya Rasulullah, ayat apa yang paling agung yang telah diturunkan kepadamu?” Beliau menjawab: “Ayat kursi; Tiada Ilan melainkan hanya Dia yang Maha hidup lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya.'” (HR. Nasa’i; Dha’if: Disebutkan oleh al-Haitsami dalam kitab al Majma’ (726), ia berkata: “Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam Mu’jam al Ausath menyerupai ini, di dalam sanadnya terdapat perawi yang berjulukan al-Mas’udi. Dia tsiqah, tetapi hafalannya bercampur/kacau.”)
Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam kitabnya, Shahih Bukhari pada cuilan Fadhailu al-Qur’an (keutamaan-keutamaan al-Qur’an) dan juga dalam cuilan al Walakah, dari Abu Hurairah ra. ia berkata: “Rasulullah saw. pernah memperlihatkan kiprah kepadaku untuk menjaga zakat bulan Ramadhan. Lalu ada seseorang yang mendatangiku seraya meraup makanan, maka saya pun segera menangkapnya seraya kukatakan: ‘Akan saya laporkan kau kepada Rasulullah.’ Orang itu berkata: ‘Biarkanlah saya mengambilnya, sesungguhnya saya membutuhkannya untuk menanggung keluargaku yang banyak, dan saya punya keperluan yang sangat mendesak.’ Abu Hurairah melanjutkan ceritanya, kemudian saya pun membiarkannya, sampai pada keesokan harinya, Rasulullah saw. berkata: ‘Hai Abu Hurairah, apa yang dikerjakan oleh tawananmu tadi malam?’ Kujawab, lanjut Abu Hurairah: ‘Ya Rasulullah, ia mengadukan kebutuhannya yang sangat mendesak dan keluarganya yang banyak. Maka saya merasa kasihan kepadanya dan saya biarkan ia berlalu.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya ia telah membohongimu dan akan kembali.’
Aku tahu bahwa orang itu akan kembali lagi berdasarkan sabda Rasulullah saw., ‘Bahwa ia akan kembali.’ Kemudian saya pun mengintainya. Ternyata ia tiba dan meraup makanan. Lalu saya menangkapnya kembali dan kukatakan: ‘Akan saya laporkan engkau kepada Rasulullah.’ Maka orang itu pun berujar: ‘Biarkanlah saya mengambilnya, sesungguhnya saya benar-benar terdesak oleh kebutuhan dan tanggungan keluarga, saya tidak akan kembali.’ Maka saya pun kasihan dan saya biarkan ia berlalu. Dan pada keesokan harinya, Rasulullah berkata kepadaku: ‘Hai Abu Hurairah, apa yang dikerjakan oleh tawananmu tadi malam?’ Kukatakan: `Ya Rasulullah, ia mengadukan kebutuhannya yang sangat mendesak dan keluarganya yang banyak. Maka saya merasa kasihan kepadanya dan saya biarkan ia berlalu.’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya ia telah membohongimu dan is akan kembali.’
Selanjutnya kuintai untuk ketiga kalinya, dan temyata ia tiba kembali dan meraup masakan lagi. Lalu saya menangkapnya kembali dan kukatakan: ‘Akan saya laporkan engkau kepada Rasulullah. Dan ini yaitu yang ketiga kalinya dan engkau telah berjanji untuk tidak kembali, ternyata engkau masih kembali. Kemudian orang itu bertutur: ‘Lepaskanlah aku, saya akan mengajarkan kepadarnu beberapa kalimat, yang dengannya Allah akan memperlihatkan manfaat kepadamu. ‘Apakah kalimat-kalimat tersebut?’ tanyaku. Maka ia menjawab: ‘Apabila engkau hendak beranjak tidur, maka bacalah ayat kursi: allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup abadi lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) pasti akan senantiasa ada sumbangan Allah bagimu dan engkau tidak akan didatangi syaitan sampai pagi hari tiba.’ Maka saya pun membebaskan orang itu. Dan pada ketika pagi harinya, Rasulullah saw berkata kepadaku: ‘Apa yang dikerjakan oleh tawananmu tadi malam?’ Kukatakan: `Ya Rasulullah, orang itu telah mengajariku beberapa kalimat, yang dengannya Allah akan mem-berikan manfaat kepadaku. Maka saya pun membiarkan ia berlalu.’ Beliau bertanya: ‘Apa kalimat-kalimat tersebut?’ ‘Orang itu berkata kepadaku: Apabila beranjak ke daerah tidur, maka bacalah ayat kursi: allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup abadi lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) pasti akan senantiasa ada sumbangan Allah bagimu dan engkau tidak akan didatangi syaitan sampai pagi hari tiba’ -para sahabat yaitu orang-orang yang sangat loba terhadap kebaikan.- Maka Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnyah berkata benar, padahal ia seorang pendusta. Tahukah engkau, hai Abu Hurairah, siapakah yang engkau ajak bicara selama tiga malam tersebut?’ ‘Tidak,’ jawabku. Beliau bersabda: ‘Ia yaitu syaitan.’”
Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari secara muallaq dengan ungkapan pasti. Hadits ini juga diriwayatkan an-Nasa’i dalam Kitab: “al yauma wa lailah.”
Hadits yang lain, yang menjelaskan bahwa ayat ini mengandung nama Allah yang paling agung, diriwayatkan Imam Ahmad, dari Asma’ binti Yazid bin Sakan, ia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah bersabda mengenai dua ayat ini, allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup abadi lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) Dan ayat, “Alif laam miim. allaaHu laa ilaaHa illaa Huwal hayyul qayyuum (“Aliif laam miim. Allah, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia yang Mahahidup abadi lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya,”) (QS. Ali Imraan: 1-2): “Sesungguhnya pada kedua ayat tersebut terdapat nama Allah yang paling agung.”
Demikian hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah. Imam Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan shahih.” Ayat ini meliputi 10 (sepuluh) kalimat yang berdiri sendiri, yaitu firman Allah Ta’ala: AllaaHu laa ilaaHa illaa Huwa (“Allah, tidak ada ilah [yang berhak di-ibadahi] melainkan Dia.”) Yang demikian itu memberitahukan, bahu-membahu Allah-lah yang Tunggal dalam uluhiyah-Nya (ketuhanan-Nya) bagi seluruh makhluk-Nya.” Al hayyul qayyuum (“Yang Mahahidup abadi lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya.”) Artinya, yang hidup kekal, dan tidak akan pernah mati selamanya, yang mengendalikan semua yang ada. Dengan demikian, semua yang ada di dunia ini sangat membutuhkan-Nya, sedang Dia sama sekali tidak membutuhkan mereka, tidak akan tegak semuanya itu tanpa adanya perintah-Nya. menyerupai firman-Nya berikut ini: wa min aayaatiHii an taquumas samaa-u wal ardlu bi amri (“Dan di antara gejala kekuasaan-Nya yaitu berdirinya langit dan bumi dengan iradah-Nya.”) (QS. Ar-Ruum: 25).
Dan firman-Nya: laa ta’khudzuHu sinatuw walaa naum (“Tidak mengantuk dan tidak pula tidur”) Artinya, la suci dari cacat (kekurangan), kelengahan dan kelalaian tidur dalam mengurusi makhluk-Nya. Bahkan sebaliknya, Dia senantiasa mengurus dan memperhatikan apa yang dikerjakan setiap individu. Dan Dia senantiasa menyaksikan segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Dan di antara kesempurnaan sifat-Nya yaitu Dia tidak pernah dikalahkan (dikuasai) kantuk dan tidur. Firman-Nya: laa ta’khudzuHu; berarti Dia tidak dikalahkan (dikuasai) oleh kantuk. Oleh alasannya yaitu itu Dia juga berkata: “Dan tidak juga tidur.” Karena tidur itu lebih berpengaruh dari mengantuk.
Dan firman-Nya: laHuu maa fis samaawaati wa maa fil ardli (“Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi.”) Hal itu merupakan pemberitahuan bahwaa makhluk ini yaitu hamba-Nya, dan berada di dalam kerajaan-Nya, pemaksaan-Nya, dan juga kekuasaan-Nya.
Firman-Nya: man dzal ladzii yasy-fa’u ‘indaHuu illaa bi-idzniHi (“Tiada yang sanggup memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”) Ini merupakan cuilan dari keagungan, keperkasaan, dan kebesaran Allah swt, yang mana tidak seorang pun sanggup memperlihatkan syafa’at kepada orang lain, kecuali dengan seizin-Nya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits perihal syafaat: “Aku tiba ke bawah ‘Arsy, kemudian saya tunduk bersujud. Maka Dia membiarkanku selama waktu yang Dia kehendaki. Kemudian dikatakan: ‘Angkatlah kepalamu, katakanlah perkataanmu akan didengar, dan berilah syafaat, dan engkau akan menerima syafaat.’ Nabi bersabda: ‘Kemudian Allah memperlihatkan suatu batasan kepadaku, kemudian saya memasukkan mereka ke dalam surga.’” (HR Al-Bukhari dan lain-lainnya).
Dan firman Allah Ta’ala: ya’lamu maa baina aidiiHim wa maa khalfaHum (“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”) Yang demikian itu sebagai bukti yang memperlihatkan bahwa ilmu-Nya meliputi segala yang ada, baik yang lalu, kini, dan yang akan datang.
Selanjutnya penggalan ayat: walaa yuhiithuuna bibisyai-im min ‘ilmiHii illaa bimaa syaa’a (“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”) Artinya, tidak ada seorang pun yang sanggup mengetahui sedikit pun dari ilmu Allah kecuali yang telah diajarkan dan diberitahukan oleh Allah kepada-Nya. Mungkin juga makna penggalan ayat tersebut adalah, insan tidak akan sanggup mengetahui ilmu Allah sedikit pun, dzat dan sifatnya melainkan yang telah diperlihatkan Allah kepadanya. Hal itu menyerupai firman-Nya yang artinya: “Sedangkan ilmu mereka tidak sanggup meliputi ilmu-Nya.” (QS. Thaahaa: 110).
Dan firman-Nya lebih lanjut: wasi’a kursiyyuHus samaawaati wal ardla (“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”) Ibnu Abi Hatim menceritakan, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, wasi’a kursiyyuHus samaawaati wal ardla (“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”) ia mengatakan, “Yaitu ilmu-Nya.”
Pendapat yang sama juga diriwayatkan Ibnu Jarir, dari Abdullah bin Idris dan Hasyim, keduanya dari Mutharif bin Tharif. Ibnu Abi Hatim, menceritakan, hal yang sama juga diriwayatkan, dari Said bin Jubair.
Dalam tafsirnya, Wak’i telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Kursi yaitu daerah pijakan dua kaki (Allah) dan ‘Arsy tidak ada seorang pun yang bisa memperkirakannya. Hal itu juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, ia mengatakan: “(Riwayat tersebut) shahih berdasarkan syarat dari Syaikhani (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.
Dan firman-Nya, “Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. “Maksudnya, Dia tidak merasa keberatan dan kewalahan untuk memelihara langit, bumi, dan semua yang ada di antara keduanya. Bahkan bagi-Nya semuanya itu merupakan suatu hal yang sangat gampang dan ringan. Dia yang mengawasi setiap individu atas apa yang ia kerjakan. Yang senantiasa memantau segala sesuatu, sehingga tidak ada sesuatu pun yang luput dan tersembunyi dari-Nya. Dia yang menundukkan dan menghisab (memperhitungkan) segala sesuatu. Dialah Ilah Yang Mahamengawasi, Mahatinggi, dan tidak ada Ilah selain Dia.
Dengan demikian firman-Nya: wa Huwal ‘aliyyul ‘adhiim (“Dan Allah Mahatinggi lagi Mahabesar,”) yaitu sama menyerupai firman-Nya: wa Huwal kabiirul muta’aal (“Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.”) (QS. Ar-Ra’ad: 9).
Jalan terbaik dalam memahami ayat-ayat di atas berikut maknanya yang terkandung dalam beberapa hadits shahih yaitu dengan metode yang dipakai para ulama Salafush Shaleh; Mereka memahami makna ayat-ayat tersebut (sebagaimana arti bahasa yang dipakai dalam ayat-ayat atau hadits-hadits itu,-Pent.) tanpa takyif (menanyakan kaifiatnya/hakekatnya) dan tanpa tasybih (menyerupakan dengan makhluk).
Dalam naskah al-Azhar: Arti memahami di sini ialah tanpa mena’wilkannya dengan pandangan-pandangan insan tetapi kita hanya beriman kepada ayat-ayat itu dengan menyucikan Allah terhadap keserupaan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya.