Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nagabumi 2 Karya Seno Gumira

Nagabumi 2 Karya Seno Gumira


Sinopsis Nagabumi 2 Karya Seno Gumira

Mengikuti keinginan pengembaraan, Pendekar Tanpa Nama dari Javadvipa datang di Tanah Kambuja pada tahun 796. Perjumpaan dengan seorang wanita pendekar, menciptakan ia terlibat banyak sekali pertandingan maut yang setiap kali hampir mencabut nyawanya.

Bersama wanita hero itu, ia bergabung dengan pasukan pemberontak An Nam yang melawan penjajahan, yang kemudian menjadikannya wajib melakukan perjalanan belakang layar ke Negeri Atap Langit untuk membongkar persekongkolan.

Kesetiaan dan pengkhianatan, sihir dan nalar, silat dan filsafat, cinta dan birahi, mengharubiru petualangan Pendekar Tanpa Nama yang mesti menangani tantangan alam hebat antara dongeng dan kenyataan.

Mengapa ia terdampar di kampung pelarian Pemberontakan An-Shi? Bagaimana caranya Pendekar Tanpa Nama menangani gungfu Perguruan Shaolin? Apa yang menciptakan perjalanannya berbelok ke Shangri-La dan terpaksa menghadapi para penyamun terbang?

Nagabumi, autobiografi Pendekar Tanpa Nama, yang di saat menuliskannya senantiasa diusik para pembunuh bayaran!

----------------

Seno Gumira Ajidarma merupakan sastrawan,fotografer dan kritikus film Indonesia. 

SASTRAWAN yang satu ini sosok pembangkang. Ayahnya Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Tapi, lain ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang dengan pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk pelajaran ilmu niscaya tidak jelek-jelek amat, ia tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. “Entah kenapa. Ilmu niscaya itu kan mesti niscaya semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar Seno.

Dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap selaku penyebab setiap problem yang terjadi di sekolahnya. Waktu sekolah dasar, ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor, hingga ia diundang guru. Waktu SMP, ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, lainnya pakai baju putih ia pakai batik, lainnya berambut pendek ia gondrong. “Aku pernah diskors alasannya merupakan membolos,” tutur Seno.

Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh dongeng petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, kemudian ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor. Lancar. Sampai risikonya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kekurangan uang, ia minta duit terhadap ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah.

Ketika SMA, ia sengaja memutuskan Sekolah Menengan Atas yang boleh tidak pakai seragam. “Jadi saya sanggup pakai celana jins, rambut gondrong.”

Komunitas yang diseleksi sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elite perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi, komunitas bawah umur jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro. “Aku suka itu alasannya merupakan liar, bebas, tidak ada aturan.”

Walau tak mengetahui mengenai drama, dua tahun Seno ikut teater Alam pimpinan Azwar A.N. “Lalu saya lihat Rendra yang gondrong, kerap tidak pakai baju, tetapi istrinya bagus (Sitoresmi). Itu kayaknya dunia yang menyenangkan,” kata Seno.

Tertarik puisi-puisi mbeling-nya Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, Seno pun mengantarkan puisi-puisinya dan dimuat. Honornya besar. Semua pada ngenyek Seno selaku penyair kontemporer. Tapi ia tidak peduli. Seno tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah sastra Horison. Tembus juga. “Umurku gres 17 tahun, puisiku sudah masuk Horison. Sejak itu saya merasa sudah jadi penyair,” kata Seno bangga.

Kemudian Seno menulis cerpen dan esai mengenai teater.

Jadi wartawan, mulanya alasannya merupakan kawin muda pada usia 19 tahun dan untuk itu ia butuh uang. Tahun itu juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan sinematografi. “Nah, dari situ saya mulai menuntut ilmu motret,” ujar pengagum pengarang R.A. Kosasih ini.

Kalau kini ia jadi sastrawan, bekerjsama bukan itu mulanya. Tapi mau jadi seniman. Seniman yang beliau lihat tadinya bukan karya, namun Rendra yang santai, sanggup bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong. “Tapi, kemudian alasannya merupakan seniman itu mesti punya karya maka saya buat karya,” ujar Seno disusul tawa terkekeh.

Sampai di sekarang ini Seno sudah menciptakan puluhan cerpen yang diangkut di beberapa media massa. Cerpennya Pelajaran Mengarang terpilih selaku cerpen terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerpennya, antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987, Seno memperoleh Sea Write Award. Berkat cerpennya Saksi Mata, Seno mendapatkan Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997.

Kesibukan Seno kini merupakan membaca, menulis, memotret, jalan-jalan, selain melakukan pekerjaan di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta. Juga kini ia menciptakan komik. Baru saja ia menciptakan teater.

Pengalamannya yang menjadi anekdot yaitu jikalau beliau naik taksi, sopir taksinya mengantuk, maka ia yang mengambil alih menyopir. Si sopir disuruhnya tidur.