Puisi Wacana Cinta - Puisi Chairil Anwar
Kumpulan Puisi CINTA- Cinta yaitu satu kata mengandung sejuta arti. Dalam kehidupan semua orang akan merasakannya, alasannya perasaan tersebut bisa menyentuh hati, mulai dari rindu, sedih, senang bahkan galau. Memang kalau lagi sayang tentu bisa romantis, penuh kasih tetapi kalau rasa itu dikhianati niscaya bikin nyesek.
Saya pernah mencicipi yang tadi, apalagi ketika gres pacaran pastinya semua terasa Indah, bahkan tiada kata-kata bisa mewakili "cinta" tersebut. Namun semua itu tentu memerlukan usaha apabila ingin cinta bukan sekedar kata atau ucapan.
Dalam sebuah usaha cinta banyak penyair melukiskannya dalam sebuah puisi-puisi ihwal cinta, salah satunya puisi karya Chairil Anwar yang sangat terkenal.
Berikut Ini kumpulan dari beberapa puisi singkat maupun panjang penuh makna hasil karya beliau
Mirat Muda, Chairil Muda
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah
menatap usang ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukan giginya pada lisan Chairil,
dan bertanya : “Adakah, adakah kamu selalu mesra dan saya bagimu indah ?”
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan niscaya di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati
hilang secepuk segan, hilang secepuk cemas
hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras
menuntut tinggi, tidak setapak berjarak
dengan mati
1949
Puisi - PENERIMAAN
Chairil Anwar
Kalau kamu mau kuterima kamu kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kamu bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang saya dengan berani
Kalau kamu mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin saya enggan berbagi.
Maret 1943
Puisi Cinta- HAMPA
(Karya- Chairil Anwar)
kepada sri
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, bahtera tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali datang di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
Puisi: CINTAKU JAUH DI PULAU
Karya: Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, kini iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, maritim terang, tapi terasa
saya tidak ‘kan hingga padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan bahtera ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
Baca selanjutnya:
Saya pernah mencicipi yang tadi, apalagi ketika gres pacaran pastinya semua terasa Indah, bahkan tiada kata-kata bisa mewakili "cinta" tersebut. Namun semua itu tentu memerlukan usaha apabila ingin cinta bukan sekedar kata atau ucapan.
Dalam sebuah usaha cinta banyak penyair melukiskannya dalam sebuah puisi-puisi ihwal cinta, salah satunya puisi karya Chairil Anwar yang sangat terkenal.
Berikut Ini kumpulan dari beberapa puisi singkat maupun panjang penuh makna hasil karya beliau
Mirat Muda, Chairil Muda
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah
menatap usang ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah
Ketawa diadukan giginya pada lisan Chairil,
dan bertanya : “Adakah, adakah kamu selalu mesra dan saya bagimu indah ?”
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahukah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan niscaya di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati
hilang secepuk segan, hilang secepuk cemas
hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras
menuntut tinggi, tidak setapak berjarak
dengan mati
1949
Puisi - PENERIMAAN
Chairil Anwar
Kalau kamu mau kuterima kamu kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kamu bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang saya dengan berani
Kalau kamu mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin saya enggan berbagi.
Maret 1943
Puisi Cinta- HAMPA
(Karya- Chairil Anwar)
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, bahtera tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali datang di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946
Puisi: CINTAKU JAUH DI PULAU
Karya: Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, kini iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, maritim terang, tapi terasa
saya tidak ‘kan hingga padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan bahtera ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
Baca selanjutnya: