Bagimu Negeri Menawarkan Api Karya Chairil Anwar
Bagimu Negeri Menyediakan Api Chairil Anwar
Sinopsis Buku Chairil Anwar Bagimu Negeri Menyediakan Api
Siapa yang tak kenal Chairil Anwar si “Binatang Jalang” yang ingin hidup 1000 tahun lagi, aktivis kesusastraan angkatan 45 yang mendobrak angkatan sebelumnya. Dalam Perayaan tujuh belas agustusan, puisi-puisi cemerlang Chairil senantiasa dibacakan dari Sabang hingga Merauke. Rasanya tak akan pernah habis obrolan ihwal Chairil Anwar baik individunya maupun sajak-sajaknya. Chairil seumpama bab dari bangsa Indonesia yang pernah ada, dan terus dirindukan.
Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api ialah hasil pencarian tim majalah Tempo dalam rangka menyambut hari Kemerdekaan RI tahun 2016. Sama seumpama edisi khusus tokoh-tokoh sebelumnya. Buku ini menceritakan banyak sekali segi kehidupan sang tokoh dan juga persepsi dari orang-orang di sekitarnya.
Buku ini mengungkap kehidupan Chairil Anwar dengan lengkap, mulai dari kehidupan masa kecilnya di Medan, kepindahannya ke Jakarta, inspirasinya dalam menulis hingga peristiwa kematiannya. Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922 . Ia ialah anak satu-satunya dari pasangan Toeloes bin Manam dan Siti Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi kuluar sebelum lulus.
Pada tahun 1942, sehabis perceraian orang tuanya, Chairil bareng ibunya pindah ke Jakarta dan mulai mengenal dunia sastra. Yang bikin Chairil Anwar bersinar yaitu kemampuannya melahirkan karya yang tidak sekadar memotret dan menggelorakan jiwa usaha kemerdekaan RI, tetapi juga kemampuannya mengolah bahasa Indonesia, yang pada di saat itu belum semaju sekarang.
Pada masa ia hidup, bahasa Melayu dan Belanda masih lebih familier digunakan. Kegilaan Chairil kepada buku sastra dunia dan perjuangannya mencari kata, diksi, bentuk dan isi terbaik dalam lirik-lirik puisinya bikin karyanya menjadi unggul dan berlainan dari karya-karya Angkatan Pujangga Baru di saat itu.
Mengenai puisi-puisi perjuangannya, ia tidak hanya merenung dan berimajinasi di balik meja saja, melainkan terlibat pribadi dalam peperangan yang kemudian dituangkannya ke dalam sajak. Hal ini sanggup dilihat dari salah satu puisinya yang berjudul “Krawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Aku” dan “Diponegoro”. Selain puisi perjuangan, ada juga puisi-puisi cinta yang terinspirasi dari beberapa wanita yang pernah singgah dihidupnya.
Chairil Anwar meninggal pada tanggal 28 April 1949, alasannya yaitu penyakit tifus, jerawat dan usus pecah. Chairil dimakamkan di Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat. Chairil mati muda pada usia 27 tahun dan sejarah akan terus mencatat, ia seorang pemberontak yang tak beranjak tua. Mati muda sudah mengekalkan imaji dirinya selaku pemberontak kepada adat-istiadat, nilai, dan kemapanan Pujangga Baru. Walau sudah tiada, hingga hari ini Chairil yaitu suatu inspirasi. Inspirasi ihwal bagaimana seorang pengarang bikin huruf bahasa yang dapat menembus dominasi bahasa pejabat, bahasa politikus, bahasa pengacara dan bahasa preman sekaligus.
Buku ini diusulkan untuk mahasiswa yang berguru kesusastraan, dan juga tenaga edukatif untuk memperbesar rujukan dalam proses pembelajaran serta khalayak biasa yang ingin lebih tahu lebih dalam ihwal Chairil Anwar. Terlepas dari pemaparan orang-orang di sekeliling Chairil yang terlalu luas, dan sering terjadi pengulangan info di beberapa bagian, buku ini elok untuk dibaca alasannya yaitu disuguhkan dengan bahasa yang ringan, dilengkapi foto dan gambar, serta beberapa karya Chairil yang tenar serta beberapa goresan pena lain yang belum pernah terbit selaku kumpulan puisi. Sampul buku yang sederhana tetapi terkesan mendalam menjadi nilai tambah buku ini.