Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review Film Spotlight


REVIEW
FILM SPOTLIGHT
Diajukan untuk memenuhi salah satu kiprah mata kuliah Spikologi Komunikasi
Dosen pengampu : Dr. Dadan Anugrah. M.Si


Disusun Oleh :
Shofa Fauziyah           1154020137


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016




Review Film Spotlight
Diangkat menurut cerita nyata, Baston Massachussetc-1976. Film Spotlight berkisah wacana sekelompok jurnalis surat kabar The Baston Globe. Sekelompok beranggotakan 4 (empat) orang ketika itu, Rubrik ini dikepalai oleh editor Walter “Robby” Robinson (di film diperankan Michael Keaton) yang memimpin 3 (tiga) orang jusnalis: Mike Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan Matt Carroll (Brian d’Arcy James). Tiga orang ini memang selalu ditugaskan untuk memeriksa satu masalah tertentu yang akan ditanyakan secara khusus oleh surat kabar tersebut (The Baston Globe). Yang melakun pemeriksaan untuk mengungkap skandal besar yang mengguncang dan menggemparkan dunia, dikarenakan skandal tersebut melibatkan instansi tertua dan terpercaya di dunia. Tim wartawan koran Spotlight pun melaksanakan penyelidikan atas tuduhan pelecehan di Gereja Katolik.
Pada tahun 2001, tim rublik Spotlight ditugaskan oleh pemimpin redaksi mereka yang gres Marty Baron untuk menggali lebih dalam wacana masalah pemerkosaan anak oleh pastur di Baston.  Penyelidikan pun diarahkan ke aneka macam sudut pandang. mulai dari susu hokum, sisi para korban, pelaku, hingga ke penelitian literature.
Marty Baron (editor gres di The Baston Globe) pun bertemu dengan Walter Robinson (Robby), kepala editor Spotlight untuk memeriksa sebuah kolom yang memuat wacana seorang pengacara local berjulukan Mitchell Garabedian.
Dalam kolom isu tersebut, Garabedian menyampaikan bhawa Kardikal Law (pemimpin keuskupan di Baston kala itu) mengetahui bahwa salah satu Pastornya melaksanakan pemerkosaan terhadap belum dewasa dan tidak melaksanakan apapun di 6 paroki yang berbeda selama 30 tahun terakhir. Dan dalam faktanya Pastor tersebut mencabuli 80 anak-anak. Ada seorang pengacara yang bilang ia tidak membuktiakn jikalau Law tahu wacana itu. Atas seruan Baron, Spotlight kemudian memeriksa lebih dalam masalah wacana pemerkosaan yang dilakukan oleh pator gereja terhadap anak-anak. Semua pekerjaan ketika itu ditinggal demi cerita ini. Dan penyelidikan pun dimualai oleh Michael Rezendes, Sacha Pfeiffer dan Matt Caroll.
Karena isu yang berpotensi ini sangat kontroversial menciptakan membuat penyelidikan ini dijegal beberapa tantangan, tak semua narasumber mau menunjukkan keterangan terkait apa yang bahwasanya terjadi seakan-akan duduk masalah ini yaitu hal yang tabu untuk dibahas sekalipun bahwasanya mereka tahu bahwa ini yaitu bentuk kriminalitas. Yang lebih mengejutkan lagi alasannya yaitu jumlah kasusnya ternyata bukan hanya satu tapi sangat banyak, terjadi semenjak lama, dan menyebar ke aneka macam kota di AS, namun di tutupi secara sistematis oleh institusi terkait dan pihak berwajib, tanpa penyelesaian secara hukum.
Korban pertama yang selamat di wawancarai, Phil Saviano. Phil Saviano yaitu salah satu organisasi SNAP yang beranggotakan 11 orang terakhir. Yang mendukung masalah ini. Phil Saviano ketika berumur 11 tahun menjadi korban (Prayed Upon) Pastur David Holly, di Wesster.
Sementara  dalam salah satu kutipan  yang paling bergidik adalah  ketika ada salah satu huruf bahwa belum dewasa yang hidup dan berkembang di lingkungan yang bermasalah, misalkan tidak serasi atau orang bau tanah bercerai lebih condong menyebabkan lingkungan agama sebagai pelarian. Apabila konteks di dalam film ini yaitu Gereja Katolik, ketika belum dewasa itu bersahabat dengan pendeta, mereka merasa menerima dukungan dari Tuhan. Sebagaian orang memanfaatkan itu untu memenuhi hasrat seksual. Akibatnya, sekeji apapun kejahatannya, alasannya yaitu berkedok agama, tidak ada yang berani mengungkapkannya, sedah semenjak usang bahkan bertahun-tahun. Kejahatan seksual terhadap belum dewasa itu bahkan disebut tidak hanya Physical abuse, namun juga spiritual abuse. Mereka yang menjadi korban merasa ibarat terjebak di sebuah system yang salah, tapi tidak bias berbuat banyak. Dan dari situlah semua korban mulai di wawancarai mengenai hal yang terjadi sewaktu itu pada mereka. Walau banyak yang tak mendapatkan mereka, mereka tetap pantang menyerah.
Jadi semua ini diselesaikan secara informal, tak ada dokumen sama sekali. Para korban seharusnya menandatangani perjanjian untuk merahasiakan agar sanggup ganti rugi. Pengacara mengambil sepertigannya, dan gereja menyembunyikannya.