Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rahvayana 2: Ada Yang Tiada Karya Sujiwo Tejo



Sinopsis Rahvayana 2: Ada yang Tiada Karya Sujiwo Tejo
Resensi Rahvayana 2: Ada yang Tiada Karya Sujiwo Tejo

Sebaiknya dunia yang tak ada mesti tetap kita adakan. Kalau perlu, kita ada-adakan. Caranya, yang tidak ada itu mesti kita ada-adakan manfaatnya.

Kisah lanjutan dari Rahvayana edisi perdana, Aku Lala Padamu ini masih bercerita soal si ‘Aku’ yang tak henti-hentinya mengagumi Sinta. Sejak konferensi pertama pada gerimis di Borobudur sampai Rahvayana hasilnya betul-betul melanglang buana tampil di gedung pertunjukan legendaris dunia. ‘Aku’ masih menulis surat-suratnya pada Sinta walau kadang Sinta tak lantas pribadi membalasnya.

Saya tidak perlu menerangkan lagi soal pembebasan pakem Rama-Sinta dari kisah Ramayana yang sudah kadung beredar dan kita semua maklum dibuatnya. Rama menghimpun pasukannya untuk merebut kembali Dewi Sinta. Pada “Rahvayana 2”, permainan sang Resi Sujiwo Tejo kian mendetail untuk mengungkapkan apa saja yang terjadi diantara Rama-Sinta. Ia sukses menghasilkan kedua tokoh itu menampakkan segi hitam-putihnya.

Pengalaman bareng ”Rahvayana 2” ini betul-betul menjadi sebuah perjalanan yang menyenangkan. Menyenangkan sebab hasilnya saya sanggup citra tentang sosok seorang Indrajit bila memang benar ada dalam kehidupan nyata. Sang pemilik Aji Sirep yang lebih sakti dari milik Wibisana ini menemani si ‘Aku’ sejak dari dalam kereta dari Guangzhou, kemudian ke Tembok China dimana si ‘Aku’ mendalang untuk lakon Rahwana dan Sinta diiringi  repertoar yang sakral dan kuno, Gending Ayak-Ayak Slendo Manyuro.

Sinta Gugat

Seluruh perjalanan dan petualangan dalam “Rahvayana 2”; Guangzhou, Tembok Cina, Bali, Siberia, Anna Karenina, Himalaya, dst. Pada ujungnya memang cuma soal Rahwana, Sinta, dan Rama. Menjelang selesai cerita, mulai halaman 233 sampai 234, usai Rama sukses menemui Sinta setelah dibentuk tidak berdaya oleh Lawa dan Kusa, dua anak kembarnya yang ikut Sinta mengasingkan diri ke hutan Dandaka, Sinta ‘menggugat’ keberadaan Rama dalam seluruh lakon Rama-Sinta ini.

“Katanya, Rama hanyalah buih. Ia bergerak atas kehendak samudra Siwa. Kenapa cinta Tuhan kepadaku lewat Rama begitu naif? Masih ia syak wasangkai kesucianku setelah 12 tahun hidup bareng Rahwana di Alengka?”

Sinta masih melanjutkan gugatannya.

“Apakah cinta tak ubahnya dengan pengadilan, yang setiap pihak mesti menandakan segalanya?”

Gugatan Sinta menawan simpati para siluman di Dandaka. Bahkan ada yang mulai menangis.

“Rama, bekerjsama kamu mencintaiku atau mengasihi dirimu sendiri sehingga kamu begitu acuh dengan isu rakyatmu bahwa saya sudah tak suci lagi setelah hidup bareng Rahwana”

Gugatan Sinta pun berakhir.

“Perang Alengka-Kosala kamu canangkan bukan demi cintamu kepadaku, Rama, melainkan demi ketersinggungganmu selaku seorang laki-laki dan seorang kesatria!”

Lagi-lagi, saya mesti mempertanyakan Rama. Mengapa Dewi Sinta yang dicurigai sudah tidak suci lagi? Apakah sebab dominasi maskulinitas terhadap feminitas Sinta? Lantas, mengapa Rama sendiri menangis di balik bukit kala Hanuman membawakan kalung titipan Sinta  untuk dipakai olehnya sekaligus untuk menandakan kesetiaannya? Dalam hal ini, memang cinta Rama terhadap Sinta perlu dipertanyakan. Bila perlu, diadakan lagi observasi lebih jauh tentang hal ini. Apakah sebegitu bersyaratnya cinta Sri Rama terhadap Dewi Sinta.

Barangkali memang Rahwana yang tetap sanggup mengasihi Sinta, apapun keadaannya. Rahwana memang menyembah dan memuji titisan Dewi Widowati itu dengan caranya sendiri. Rahwana menyembah Zat yang ada itu lewat segenap tirakatnya. Rahwana tetap menjunjung dan mengasihi Sinta, walau Sinta meningkat menjadi Janaki dan Waidehi.

Hanya Sekedar Komentar

Muatan lain yang jadi titik berat lanjutan ‘Aku Lala Padamu’ ini yakni satu soal filosofis wacana ada dan tiada. Pembaca sanggup menganggap sendiri duduk kasus filosofis yang rupanya sempat hinggap di kepala sang Resi Sujiwo Tejo. Soal cover buku, saya rasa ‘Aku Lala Padamu’ memang condong ‘lebih serius’ dalam menggarap kekerabatan antara cover dengan jalan cerita.

“Ada Yang Tiada” punya cover yang condong lebih ngepop dan santai. Tiga orang gadis naik kendaraan beroda empat sedan kap terbuka. Mungkin, mereka naik sedan Mercy Tiger tahun 70-an dan melintasi jalanan Melawai sampai pinggiran pantai California sana. Entah mengapa, saya membayangkan perempuan-perempuan itu yakni Gwen Stefani, Mariana Renata, dan Katy Perry, sang pelantun ‘California Girls’. Entah. Entah mengapa. Seperti ada yang tiada.