Pengertian Filsafat Dakwah
1. Pengertian Filsafat Dakwah? Baik secara Bahasa dan istillah.
2. Objek formal dan material Filsafat Dakwah?
3. Manfaat mempelajari Filsafat Dakwah?
4. Takhollaqu bi Akhlaqillah, bagaimana memahami hadits ini terkait dengan dakwah sbg pembengunan peradaban?
5. Mengapa insan membutuhkan dakwah?
Catatan :
- jawaban diketik dengan hurup garamound 12
- bobot evaluasi terletak pada banyaknya tumpuan yang dirujuk
- dikumpulkan 1 ahad sehabis dibagikan
jabawan :
1. Pengertian Filsafat Dakwah? Baik secara Bahasa dan istillah :
a. Pengertian Filsafat Dakwah secara Bahasa
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab “فلسفة”, yang juga diambil dari bahasa Yunani yaitu philosophia. Dalam bahasa ini (Yunani), kata philosophia merupakan kata beragam dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga dalam arti harafiahnya ialah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih ibarat dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah atau filsafat disebut “filsuf”.
Kata dakwah ialah derivasi dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak. Ism fa’ilnya (pelaku) ialah da’I yang berarti pendakwah. Di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’I sebagai orang yang memangggil (mengajak) insan kepada agamanya atau mazhabnya. Merujuk pada Ahmad Warson Munawir dalam Ilmu Dakwah karangan Moh. Ali Aziz (2009:6), kata da’a mempunyai beberapa makna antara lain memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, menangisi dan meratapi. Dalam Al-Quran kata dakwah ditemukan tidak kurang dari 198 kali.
b. Pengertian Filsafat Dakwah secara istilah
Menurut istilah, filsafat ialah ilmu istimewa yang menjawab masalah-masalah yang tidak sanggup dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah tersebut termaksuk masalahh yang berada diluar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. Dalam arti simpel filsafat mengandung arti alam berfikir/alam pikiran, sedangkan berfilsafah ialah berfikir secara mendalam atau radikal atau dengan sungguh–sungguh hingga keakar-akarnya terhadap suatu kebenaran atau dengan kata lain berfilsafat mengandung arti mencari kebenaran atas sesuatu.
Dakwah ialah kegiatan atau perjuangan memanggil orang muslim maupun non-muslim, dengan cara bijaksana, kepada Islam sebagai jalan yang benar, melalui penyampaian anutan Islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyata semoga bisa hidup hening di dunia dan senang di akhirat. Singkatnya, dakwah, ibarat yang ditulis Abdul Karim Zaidan, ialah mengajak kepada agama Allah, yaitu Islam.
Adapun pengertian filsafat dakwah ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara kritis dan mendalam wacana dakwah (tujuan dakwah, mengapa diharapkan proses komunikasi dan transformasi anutan dan nilai-nilai islam dan untuk mengubah keyakinan, sikap dan sikap seseorang khas islam) dan respon terhadap dakwah yang dilakukan oleh para da’i dan mubalig, sehingga orang yang didakwahi sanggup menjadi manusia-manusia yang baik dalam arti beriman, berakhlak mulia ibarat yang diajarkan oleh islam
Filsafat Dakwah ialah khusus yang berkiaitan dengan dakwah sebagai kekerabatan dan aktualisasi Imani insan dengan agama islam, Allah dana lam (lingkungan, dunia). Secara filosofis yang hendak dikaji dalam filsafat dakwah ialah hakikat dakwah yaitu apa bekerjsama dakwah itu. Berkaitan dengan itu, maka yang dikaji ialah keseluruhan dari proses komunikasi, transformasi anutan dan nilai-nilai Islam serta proses internalisasi, pengalaman dan pentradisian anutan dan nilai-nilai Islam, perubahan keyakinan, sikap dan prilaku pada insan dana lam lingkungannya.
2. Objek Formal dan Material Filsafat Dakwah :
a. Objek Formal Filsafat Dakwah
Menurut Drs. Suisyanto objek formal filsafat dakwah ialah perjuangan untuk mendapatkan pemahaman yang sedalam-dalamnya sesuai dengan budi sehat insan wacana segala sesuatu yang berkaitan dengan penyampaian anutan Islam kepada umat Islam dengan cara mengumpulkan warta sebanyak-banyaknya baik secara simpel maupun teoritis.
Menurut Andy Dermawan dkk, objek Formal filsafat dakwah ialah mempelajari bagaimana hakikat dakwah.
Menurut Dr. H. Nur Syam, objek Formal filsafat ialah pemikiran secara radikal akan objek material tersebut.
Objek kajian dakwah ialah korelasi interaksional antara subjek dakwah dengan Objek dakwah dengan memakai metode, materi, dan media dakwah tertentu untuk mencapai tujuan dakwah. Sehingga secara proposional sanggup dinyatakan dalam proposisi, sebagai berikut:
- Subjek dakwah tertentu berafiliasi dengan religiositas objek dakwah.
- Media dakwah tertentu berafiliasi dengan religiositas objek dakwah.
- Metode dakwah tertetnu berhubungan dengan religiositas objek dakwah.
- Materi dakwah tertentu berafiliasi dengan religiositas objek dakwah
b. Objek material filsafat dakwah ialah manusia, Islam, Allah dan lingkungan (dunia). Filsafat dakwah mencoba melihat proses interaktif antara insan yang menjadi subjek (dai) dan objek (mad’u) dalam proses dakwah, Islam sebagai pesan dakwah dan lingkungan dimana insan akan mengamalkan dan menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam serta Allah yang menurunkan Islam dan menawarkan “persetujuan”-nya (takdirnya) yang menyebatkan terjadinya perubahan keyakinan, sikap, dan tindakan. Oleh alasannya ialah itu pembahasan filsafat dakwah tidak sanggup dilepaskan dari Allah, Islam, insan serta lingkungan (bumi, alam) dimana terjadi proses dakwah.
Secara ringkas ruang lingkup filsafat dakwah paling tidak mencakup empat hal, yang selalu punya kaitan erat:
a. Pertama, insan sebagai pemberi dan akseptor dakwah.
b. Kedua, agama Islam sebagai pesan atau materi yang harus disampaikan, diimani (diinternalisasikan) serta diwujudkan dalam realitas masyarakat.
c. Ketiga, Allah membuat insan dan alam, sebagai Rab yang memelihara alam dan menurunkan agama Islam serta memilih terjadinya proses dakwah.
d. dan Keempat, lingkungan alam, yaitu alam (bumi dan sekitarnya) daerah terjadinya proses dakwah karena dakwah proses interaktif.
3. Manfaat Mempelajari Filsafat Dakwah :
Manfaat filsafat dakwah ialah mempunyai kegunaan untuk memilih para da’I semoga bisa memahami anutan islam secara radikal, hingga keakar-akarnya sehingga menemukan kebenaran yang hakiki. Para da’I bisa menjelaskan bahwa islam universal, tidak bertentangan logika dan budi sehat. Dengan demikian anutan islam disampaikan tidak hanya diterima secara dokmatis dan otoriter semata, tetapi juga melalui kerangka fikiran yang rasional yang bisa menawarkan arti penting dalam menyadari otoritas diri sebagi makhluk yang berdimensi dalam memahami diri dan hak miliknya.
4. Takhallaqu bi Akhlaqillah, bagaimana memahami hadits ini terkait dengan dakwah sbg pembengunan peradaban :
Sifat adil dan prasangka baik, sebagai beling selubung nasihat bekerjsama hanya dua teladan etik yang harus dimiliki dai. Sifat lain yang harus menjadi etika dai masih banyak, sebanyak sifat atau nama Allah (subtansi ke-Allah-han-Allah). Sifat atau nama Allah tersebut harus menjadi sifat etik insan (subtansi kemanusiaan manusia), dan khususnya da’I semoga tetap menjadi makhluk yang tetap malia, termasuk dalam kegiatan dakwah. Hal ini ditegaskan dalam al-hadis Qudsi, تَخَلًقُوْا بِاَخْلاَقِ اللهِ , yang artinya, “berakhlaklah kau sekalian dengan moral (sifat dan asma) Allah”.
Allah mempunyai nama-nama Yang Baik (Asmaul Husna) sebanyak 99 sebagai simbol bahwa Allah mempunyai sifat sebagai Tuhan yang harus dicontoh oleh hamba-Nya, sudah barang barang tentu sesuai dengan keterbatasan manusia. Beberapa Nama Allah, selain adil dan Hakim, sanggup ditransfer menjadi etika da’i dalam berdakwah, antara lain:
a. Pemurah dan Penyayang
Diantara Asmaul Husna yang paling banyak disebut dalam Al-quran ialah (ar-Rahman dan (ar-Rahim), alasannya ialah setiap surat, selain Surat al-Baraah (at-Taubah), dimulai dengan kalimah بِسْمِ الله الرًحْمَنِ الرًحِيمِ . Hal ini membuktikan sangat pentingnya kalimah basmallah tersebut. Bahkan Rasullah bersabda bahwa “setiap perbuatan yang tidak dimulai dengan Basmallah dikatagorikan perbuatan sia-sia”.
Hal ini mengandung isyrat bahwa kedua Nama Tuhan tersebut harus ditransfer sebagai etika da’i dalam arti ia harus mempunyai sifat murah hati (rahman), dan kasih sayang (rahim). Tiap muslim dan da’I harus bermurah hati dan kasih sayang kepada sesama manusia, antarmuslim, dan kepada objek dakwahnya. Kalau berdua sifat tersebut tumbuh dan berkembang kedamaian dn bebas dari konflik. Begitu juga kalau da’i menumbuh kembangkan kedua sifat tersebut, baik antarsesama da’i, sesama insan dan kepada objek dakwahnya, maka dakwahnya sudah berada di pintu gerbang kesuksesan.
Dengan sifat murah hatinya, dai akan membiarkan objek dakwah untuk tidak melaksanakannya, dan kalau objek dakwah sudah melakukan salat, namun masih jarang-jarang, tidak perlu dipaksa untuk menanggapinya. Yang paling penting dilakukan ialah hal dai menggugah kesadaran semoga mereka melaksanakannya sacara utuh, tentu dengan cara hikmah. Misalnya, dai mengenalkan ayat al-Quran (QS. Az-Zalzalah, 99;7) فَمَنْ يَعْمَلْ مِشْقَالَ دَرَّةٍ خَيْرًا يَراه , dalam makna, barang siapa berbuat kebajikan, ibarat melakukan shalat atau melakukan secara utuh, maka ia akan memperoleh jawaban yang setimpal. Selain itu dai juga sanggup menawarkan taklim wacana salat sesual ketentuan syariat.
Dengan sifat kasih sayangnya, dai melakukan kiprah dakwah secara sabar dan telaten tanpa mengenal putus asa. Ia membimbing, memberi, mencraikan, dan menemukan petunjuk serta mengatasi masalah yang dihadapi objek dakwah, baik yang berkaiatan dengan dilema duniawi maupun ukhrawi, ia mengorbankan tenaga dan pikiran, demi kasih sayangnya terhadap objek dakwah.
b. Pemaaf
Pemaaf (al-Gafur) merupakan satu diantara 99 Asmaul Husna. Dalam kegiatan dakwah, sifat pemaaf yang harus dimiliki da’I terwujud dalam sikap lemah-lembut dan simpati dalam menyampiakan pesan-pesan dakwah, baik secara verbal (bil-lisan), goresan pena (bil qalam), perbutaan (bil-‘amal), bahkan perjuangan nyata dalam kehidupan masyarakat (bil-Hal). Siafat ini juga harus diterapkan da’I dalam menghadapi objek dakwah sebagai manusia. Artinya, da’I tidak boleh bersikap berangasan dan dendam atas perilakunya yang tidak atau belum sesuai dengan tuntunan anutan Islam, karena mereka sangat mungkin belum mengetahui atau lalai.
c. Penguasa atau pemilik
Allah juga punya nama al-Malik yang bararti Maharaja atau Maha Memiliki sesuatu. Jika dikaitkan dengan etika da’I berarti harus mempunyai sifat menguasai diri dalam menghadapi semua dilema dakwah, termasuk juga menguasai nafsu amarahnya. Dalam konsep al-Malik juga terkandung sikap “wibawa”. Hal ini berarti seorang da’I harus mempunyai wibawa semoga tutur katanya sanggup didengar dan dipatuhi objek dakwahnya.
Kewibawaan hanya terdapat pada langsung yang cakap menguasai atau mengendalikan diri, baik kecakapan dalam menguasai nafsu amarahnya, seluruh jawarih-nya, termasuk dalam menguasai ilmu dan budi pikirannya. Untuk itu da’I perlu melatih mengendalikan diri sehingga mempunyai kewibawaan. Da’I yang mempunyai penguasaan diri juga akan sigap dalam menghadapi banyak sekali persoalan, situasi dan konddisi yang berbeda-beda, ia tidak akan gugup, tapi berakal menerapkan prinsip nasihat dalam semua perngkat dakwah.
Sifat menguasai diri dengan segala alhasil tersebut bekerjsama sanggup dipahami dari do’a yang sering dilakukan umat Islam, yaitu:
رَبِّ اسْرَحْلِى صَدْرِي وَيَسِّرِلِيْ اَمْرِيْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِى يَفْقَهُوْاقَوْلِيْ
Ya Tuhanku! Lapangkanlah dadaku, mudahkanlah urusanku, lancarkanlah tutur kata lisanku, berilah kepahaman bagi mereka akan maksud tutur karaku.
5. Mengapa insan membutuhkan dakwah :
a. Kebutuhan Manusia Kepada Dakwah Melebihi Kebutuhan Mereka Kepada Makanan.
Allah swt membuat insan dengan tepat (ahsana taqwim). Dengan dibekali budi dan nafsu untuk menbedakan insan dengan makhluk lain. Allah swt telah mengilhamkan kepada insan jalan yang baik dan jalan yang fujur (sesat). Karena itulah insan membutuhkan dakwah (nasihat orang lain) semoga tidak futur dalam menjalankan ketaatan kepada Allah swt karena perintah Allah swt itu banyak dan berat sehingga insan membutuhkan teman atau jamaah yang saling mengingkan diantara mereka, begitu juga pada hakikatnya nafsu insan itu menyukai (condong) kepada hal-hal yang dilarang ( النفس تهوى ما منع ). sebagaimana firman Allah swt :
“dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.”
Manusia terdiri dari tubuh, budi dan hati. Tubuh membutuhkan masakan untuk bisa tegak dan menjalankan aktivitas. Adapun budi harus dimanfaatkan dengan banyak berfikir dan mentadabburi alam semesta ini. Dan hati lebih dari itu semua , karena hati ini daerah dimana Allah menawarkan hidayah dan cahaya kepada manusia. Karena itu hati membutuhkan siraman dakwah sehingga tumbuh subur kepercayaan (hidayah ) Allah swt. tanpa siraman dakwah, hati akan mengeras dan mati. Sungguh indah ketika Allah menggambarkan bagaimana kerasnya hati , firman Allah swt:
“kemudian sehabis itu hatimu menjadi keras ibarat batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah kemudian keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kau kerjakan.” (Qs. Albaqoroh :74)
Dari ayat diatas terang bahwa ketika hati insan menjadi keras, maka ia tidak akan mendapatkan kebenaran dan senantiaasa menjauhi kebenaran tersebut, naudzubillah min dzalik.
b. Dakwah Melahirkan Kebaikan Pada Diri, Masyarakat Dan Negara
Miswan thohadi dalam bukunya “quantum dakwah dan tarbiyah” menyampaikan : “Dakwah Selain kewajiban syariat, dakwah juga merupakan kebutuhan insan secara universal.Artinya setiap insan dimanapun ia berada tidak akan pernah hidup dengan baik tanpa dakwah. Dakwahlah yang akan menuntun insan kepada kebaikan. Sedangkan menjadi hebat kebaikan ialah kebutuhan dasar setiap orang. Maka jangan pernah terpikir sediitpun untuk menjauh dari dakwah dengan bantalan an apapun. Justru ketika kita merasa kesulitan menjadi baik, maka dakwah inilah yang akan membantu kita memudahkannya. Semakin kita merasa berat meniti jalan islam, semakin besar pula kebutuhan kita terhadap dakwah.
Ia melanjutkan , dakwah ialah kebutuhan setiap manusia, terlebih bagi sang dai sendiri. Menjadi sholih ialah kemestian atas setiap muslim dan menjadi dai ialah jalan yang paling efektif untuk menjadi sholih. Para nabi dan rosul Allah ialah para dai pejuang penegak agama Allah, disaat yang sama mereka juga harus mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Allah swt berfirman;
"Dia telah mensyari'atkan bagi kau wacana agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kau berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kau seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)."(assyura; 13)
Dari sini diketahui bahwa ketika kebaikan itu telah tertanam pada tiap individu, kemudian dari individu ini melahirkan sebuah keluarga yang baik, kemudian dari kumpulan keluarga akan melahirkan masyarakat yang baik, dan tidaklah tidak mungkin dari masyarakat-masyarakat yang telah tertanam ruh kebaikan akan melahirkan negara yang baik pula.
c. Dakwah Menjadikan Manusia Menjadi Mulia
Firman Allah SWT :
“dan inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah engkau ikuti jalan-jalan lain, karena itu semua akan menyesatkanmu dari jalanNya. Itulah yang telah diwasiatkan kepadamu semoga kau bertaqwa.” (al-an’am : 153)
Dakwah dalam perspektif yang luas merupakan jalan untuk membangun sistem kehidupan masyarakat yang mengarahkan umat insan menuju penghambaan totalitas dalam semua dimensi kehidupan mereka hanya kepada Allah swt. kalau prosesi ini berjalan dengan baik maka akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang harmonis, yang menjunjung tinggi nilai kemuliaandan menghindarkann diri dari prilaku keji yang berujung pada kehinaan. Jalan dakwah inilah yang telah ditempuh oleh Rosulullah saw dan para rosul sebelumnya. Di atas jalan ini pula mereka mengerahkan segenap potensi yang dimiliki untuk membangun kemulian umat.
Tetapi ketika insan menjauhi dakwah islam, sehingga egoisme menguasai seluruh elemen bangsa ini. Dimana pedagang hanya mementingkan laba perdagangannya, pegawi hanya mementingkan pekerjaannya, dan begitu seterusnya masing-masing larut dengan urusannya tanpa mempedulikan kebaikan orang lain. Egosime inilah yang telah mencabut rasa percaya satu sama lain di antara warga masyarakat, yang memutuskaan ikatan kasih sayangantar anggota keluarga, dan melemahkan ikatan kemanusiaan antar manusia. Padahal insan membutuhkan kolaborasi untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dan problema kehidupan. Di sini, dakwah berperan menawarkan impian akan lenyapnya egosime dari masyarakat kita.
Karena itulah Allah mensifati umat dakwah sebagai umat terbaik, karena menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar demi kemuliaan hidup bersama.
d. Dakwah Adalah Investasi Amal Tanpa Batas
Rosulullah saw bersabda :
“barang siapa yang memperlihatkan kebaikan , maka baginya pahala ibarat orang yang mengerjakannya.” Hr. bubuk dawud
Dari hadis diatas, diketahui bahwa orang yang senantiasa berdakwah mengajak insan untuk berbuat baik sesuai yang diajarkan islam berarti ia telah berinvestasi untuk alam abadi tanpa batas. Karena ia akan senantiasa mendapatkan pahala orang yang mengerjakan ibadah karena dakwahnya kepada dia. Hadis diatas dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh abi hurairah, Rosulullah saw bersabda:
“apabila insan meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; yaitu shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholih yang mendokan orang tuanya.” (hr. tirmidzi)
Dakwah termasuk dalam kategori ilmu yang bermanfaat.
Dakwah lebih baik dari dunia, sebagaimana Rosulullah saw ketika berkata kepada Ali bin abi tholib:
“wahai ali, sungguh sekiranya Allah member hidayah seseorang karena dakwahmu, itu lebih baik bagimu daaripada unta merah.”(hr. bukhori muslim).
DAFTAR PUSTAKA
Yuyun Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakartra: Yayasan Obor Indonesia dan Leknas LIPI, 1982)
Ismail, Nawari. Filsafat Dakwah Ilmu Dakwah dan Penerapanannya (2014). PT BULAN BINTANG Penerbit dan Penyebar Buku-Buku
H. A. Mustafa. 1997: Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung.
Pemikiran Dakwah Islam
A. Heri Hermawan, M Ag, Yaya Sunarya, M,pd. 2011: Filsafat Islam, Insan Mandiri, Bandung