Biografi Gus Dur Pdf Karya Greg Barton
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil berguru pada sang kakek, K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia sudah tanpa gangguan membaca al-Qur'an.
Pada dikala sang ayah pindah ke Jakarta, di samping berguru formal di sekolah, Gus Dur masuk juga mengikuti berguru khusus Bahasa Belanda. Guru lesnya berjulukan Willem Buhl, seorang Jerman yang sudah masuk Islam, yang mengubah namanya dengan Iskandar.
Untuk memperbesar pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl senantiasa menyuguhkan musik klasik yang lazim dirasakan oleh orang dewasa. Inilah pertama kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai terpikat dan menyayangi musik klasik.
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur mengungguli kontes karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan mendapatkan kado dari pemerintah.
Pengalaman ini menerangkan bahwa Gus Dur sudah bisa menuangkan gagasan/ide-idenya dalam suatu tulisan. Karenanya masuk akal kalau pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur menghiasai banyak sekali media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk berguru di Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak.
Sekolah ini walaupun dikontrol oleh Gereja Nasrani Roma, akan tapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler. Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur berguru Bahasa Inggris.
Karena merasa terkekang hidup dalam dunia pesantren, kesannya ia minta pindah ke kota dan tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan setempat Muhammadiyah dan orang yang kokoh di SMEP.
Kegiatan rutinnya, sehabis shalat subuh mengaji pada K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut berdiskusi bareng dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, kegemaran membacanya makin mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris.
Di antara buku-buku yang pernah dibacanya yakni karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca hingga tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov.
Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation'. Selain berguru dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kesanggupan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif menyimak siaran melalui radio Voice of America dan BBC London.
Ketika mengenali bahwa Gus Dur cerdik dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota Partai Komunis-memberi buku karya Lenin 'What is To Be Done'.
Pada dikala yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini sudah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar dengan terang kekayaan keterangan dan keluasan pengetahuan Gus Dur.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis, saleh dan guru dicintai.
Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah panduan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan keramat para wali di Jawa.
Pada dikala masuk ke pesantren ini, Gus Dur menjinjing seluruh koleksi buku-bukunya, yang menghasilkan santri-santri lain terheran-heran. Pada dikala ini pula Gus Dur sudah bisa menyediakan kemampuannya dalam berhumor dan berbicara.
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada suatu dongeng memukau yang pantas diungkap dalam paparan ini yakni pada program imtihan-pesta akbar yang diselenggarakan sebelum puasa pada dikala perpisahan santri yang selesai menamatkan belajar-dengan menyediakan masakan dan minuman dan menghadirkan semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping, jathilan, dan sebagainya.
Jelas, hiburan-hiburan menyerupai tersebut di atas sungguh tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tapi itu ada dan terjadi di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati 20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan.
Pada usia 22 tahun, Gus Dur berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali hingga di Mesir, ia merasa kecewa lantaran tidak sanggup pribadi masuk dalam Universitas al-Azhar, akan tapi mesti masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan).
Di sekolah ia merasa bosan, lantaran mesti mengulang mata pelajaran yang sudah ditempuhnya di Indonesia. Untuk menetralisir kebosanan, Gus Dur sering mendatangi perpustakaan dan sentra layanan keterangan Amerika (USIS) dan toko-toko buku dimana ia sanggup memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat keadaan yang menguntungkan dikala Gus Dur berada di Mesir, di bawah pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo menjadi periode keemasan kaum intelektual.
Kebebasan untuk mengeluarkkan nasehat memperoleh sokongan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak, suatu negara terbaru yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju.
Di Irak ia masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970. Selama di Baghdad Gus Dur memiliki pengalaman hidup yang berlawanan dengan di Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak ditemukan di Mesir.
Pada waktu yang serupa ia kembali bersinggungan dengan buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menggeluti hobinya secara intensif dengan membaca nyaris semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur bersungguh-sungguh mendatangi makam-makam keramat para wali, tergolong makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah. Ia juga menggeluti fatwa Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang dibarengi oleh jamaah NU.
Di sinilah Gus Dur memperoleh sumber spiritualitasnya. Kondisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi kemajuan pemikiran politik Gus Dur pada dikala itu.
Kekagumannya pada kekuatan nasionalisme Arab, khususnya terhadap Saddam Husain selaku salah satu tokohnya, menjadi luntur di saat syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas terbunuh.
Selepas berguru di Baghdad Gus Dur berniat melanjutkan studinya ke Eropa. Akan tapi tolok ukur yang ketat, khususnya dalam bahasa-misalnya untuk masuk dalam kajian klasik di Kohln, mesti menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak sanggup dipenuhinya, kesannya yang dijalankan yakni menjalankan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu universitas ke universitas lainnya.
Pada kesannya ia menetap di Belanda selama enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Untuk ongkos hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke pelabuhan untuk melakukan pekerjaan selaku pembersih kapal tanker.
Gus Dur juga sempat pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman secara mendalam. Namun, kesannya ia kembali ke Indoneisa sehabis terilhami berita-berita yang memukau sekitar kemajuan dunia pesantren.
Perjalanan keliling studi Gus Dur rampung pada tahun 1971, di saat ia kembali ke Jawa dan mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus selaku perjalanan permulaan kariernya.
Meski demikian, semangat berguru Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979 Gus Dur ditawari untuk berguru ke suatu universitas di Australia guna mendapatkkan gelar doktor. Akan tapi maksud yang bagus itu tidak sanggup dipenuhi, lantaran semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur tidak memerlukan gelar tersebut.
Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi kandidat doktor dari Australia justru diantarkan terhadap Gus Dur untuk dikoreksi, dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.